Jakarta (ANTARA News) - "Aku memberi agar Anda melakukannya" (do ut facias), pepatah Latin klasik yang boleh jadi diamini oleh mereka yang gemar berolah kata untuk beroleh fulus proyek sana-sini. Istilahnya uang semir, sejumlah uang yang diberikan bagi bawahan yang dinilai atasan belum membersihkan sepatunya.

Di sini pujangga Seneca punya ungkapan mengenai nasib dengan huruf besar. Nasib menggiring mereka yang mau taat, sebaliknya nasib menjerumuskan mereka yang membangkang (ducunt volentem fata, nolentem trahunt). Ironis.

Benarkah? Silakan kembali ke laptop sejarah sepak terjang kongsi dagang kolonial Belanda atau kerap disebut sebagai "VOC". Lidah orang Melayu lalu memelesetkan dengan menyebutnya sebagai kompeni. Bukankah kompeni suka main kongkalikong dengan menebar fulus demi membeli kesetiaan dan ketetapan hati.

Silakan membaca kemudian menguliti bacaan bertajuk puncak kekuasaan VOC dan korupsi dari buku Menjadi Indonesia I, yang ditulis oleh Parakitri Simbolon. Diungkapkan bahwa uang semir diberikan dari mereka yang berbondong-bondong ingin menjadi karyawan VOC. Pada abad 18, mereka paham bahwa pedang penegak hukum tumpul jika berhadapan dengan kasus korupsi.

Kekuasaan teritori VOC merajalela, merajalela pula modus korupsi. Disebutkan bahwa ada pejabat yang dengan sengaja melakoni perdagangan partikelir, menyunat keuntungan yang menjadi hak VOC, memaksa rakyat menyerahkan hasil bumi lebih dari ketentuan, sengaja mengajukan target setoran di bawah potensi, memaksa penduduk menyerahkan upeti dan menerima hadiah dari para penjilat.

Nilep duit gaya VOC ini dapat dirangkum dengan tiga kata saja. Uang tidak pernah bau (pecunia non olet). Konyolnya, siapa yang tidak doyan uang meskipun bau uang "mirip-mirip" bau peturasan umum. Untungnya, pujangga klasik Horatius pernah menulis, hiduplah dari yang sedikit.

Nyatanya, virus nilep duit gaya VOC masih bersarang di kepala mereka yang doyan menghirup aroma peturasan umum. Survei Transparency International mencatat, sektor-sektor yang dinilai paling rentan korupsi ternyata tidak mengalami perubahan berarti sejak 2003. Secara umum, ada empat sektor yang dinilai terkorup, yaitu partai politik, parlemen, pengadilan, dan kepolisian.

Aktualnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, korupsi oleh oknum pemerintah pusat dan daerah serta di parlemen masih terjadi. "Kita tingkatkan penerimaan negara, tapi korupsi masih terjadi. Uang di daerah dan pusat dirampok mereka yang tak bertanggung jawab," kata Presiden seusai melantik 12 menteri dan 13 wakil menteri hasil perombakan kabinet di Istana Negara, Rabu (19/10).

Responsnya, wakil Ketua DPR, Pramono Anung megatakan, "Kita kan sudah seringkali terjebak pada retorika atau ucapan yang secara publik enak didengar tapi pada kenyataannya tidak dilaksanakan." Baik Presiden Yudhoyono maupun Pramono Anung sama-sama sepakat bahwa kata-kata itu mengajarkan, teladanlah yang membimbing (Verba docent, exempla trahunt).

Korupsi bersinggungan dengan upeti, uang semir dan uang sogok. Uang di daerah dan uang di pusat digondol oleh mereka yang memanfaatkan gaya nilep "VOC". Dikisahkan bahwa Gubernur Jenderal Van Hoorn menimbun harta sampai 10 juta gulden ketika kembali ke Belanda pada 1709, padahal gaji resminya hanya sekitar 700 gulden sebulan.

Diungkap pula bahwa pengurus VOC di Belanda memberlakukan tarif sogok selama 1719-1723 sebesar f 2.000 untuk menjadi kapitein, dan f 120 untuk menjadi kopral. Korupsi bermuara dari aktivitas berbahasa. Bila ingin menjabat ini itu, silakan membayar sejumlah uang.

Menurut filsuf Wittgenstein, aktivitas berbahasa memiliki analogi dengan permainan. Bahasa punya aturan-aturannya. Dan korupsi umumnya berkutat dengan apa yang diucapkan oleh seseorang (what is said) ternyata berbeda dengan makna atau maksud sesungguhnya (what is meant).

Korupsi di parpol, di parlemen, di pengadilan dan kepolisian semuanya berkutat dengan soal bahasa. Dari korupsi kata-kata dan korupsi fulus sampai korupsi waktu.

Jika ingin uang rakyat tidak dirampok, maka kembalilah kepada inti berbahasa. Berbahasalah dengan menghindari ketidakjelasan dan menjauhi kemenduaan (ambiguitas) makna. Caranya?

Jangan mengucapkan sesuatu yang Anda percayai menjadi tidak benar dan jangan mengucapkan sesuatu yang buktinya kurang memadai. Masih ingin mengendus bau uang di tinja rakyat?

Penulis prosa dan puisi dari Roma, Gaius Petronius Arbiter menulis karya berjudul Satyricon. Para tokoh dalam karya itu sama-sama menggunakan bahasa rakyat jelata untuk melukiskan kerakusan orang kota.

Petronius menyamakan kerakusan orang kota sebagai orang yang terus mengisi piringnya dengan aneka makanan dan minuman. Dan Petronius lebih dikenal sebagai hakim penentu keindahan (arbiter elegantiae) di lingkungan kehidupan Kaisar Nero.
(A024)

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
COPYRIGHT © ANTARA 2011