Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) akan menghapus instrumen moneter Sertifikat Bank Indonesia (SBI) jangka waktu tiga bulan yang dianggap mengaburkan arah kebijakan moneter bank sentral. "Dalam waktu dekat, Maret atau April, SBI tiga bulan akan kita hapus, cukup SBI yang satu bulan saja. SBI tiga bulan itu sering membuat bingung pasar karena dianggap sebagai target suku bunga Bank Indonesia," kata Direktur Perencanaan Strategis dan Humas BI Budi Mulia di Jakarta, Jumat. Dikatakannya, rencana ini sudah dibicarakan dengan pemerintah yang menyepakati untuk mengganti SBI tiga bulan tersebut dengan obligasi pemerintah jangka waktu tiga bulan dengan masa transisi enam bulan setelah SBI tiga bulan dihapuskan. "Pemerintah akan menerbitkan obligasi jangka waktu tiga bulan sebagai ganti SBI tiga bulan, sehingga investor pemegang SBI tiga bulan akan mendapat ganti obligasi pemerintah tiga bulan yang berbunga variabel," katanya. Menurut Budi Mulia, tujuan penghapusan itu juga untuk mengarahkan pasar bahwa sinyal kebijakan moneter BI nantinya hanya pada SBI satu bulan yang mengacu pada tingkat suku bunga BI atau "BI rate". Dijelaskan Budi, biaya operasi moneter yang dilakukan BI hingga 16 Februari terus meningkat dibanding akhir Desember 2005, hingga mencapai Rp150 triliun karena masuknya dana-dana jangka pendek dari asing. Dari jumlah tersebut sebanyak Rp123 triliun disimpan di SBI dan sisanya di fasilitas simpanan BI (Fasbi). Jumlah ini meningkat dibanding biaya operasi moneter di SBI pada akhir Desember sebesar Rp72 triliun. Sementara kepemilikan asing di SBI hingga 16 Februari mencapai Rp19,5 triliun atau meningkat dibanding akhir Desember 2005 yang Rp14,7 triliun. Sedangkan jumlah investasi di surat utang negara (SUN) hingga 16 Februari mencapai Rp395,6 triliun, dengan dana asing Rp38,2 triliun, lebih tinggi dibanding posisi Desember 2005 yang Rp31 triliun. Banyaknya dana asing ini, lanjut Budi, memang membuat rupiah menguat sehingga diharapkan mereka bertahan terus menyimpan dananya di sini, namun dana jangka pendek ini sangat sensitif dan bisa setiap saat keluar jika ada berita-berita yang kurang baik. "Asal tidak ada berita yang membuat `blunder` mereka akan tetap tinggal di sini, dan mudah-mudahan semakin lama mereka tinggal mereka akan mengalihkan dananya ke saham dan berlanjut dengan membangun pabrik-pabrik," katanya.(*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2006