Jimbaran, Bali (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda mengatakan bahwa Iran menghargai sikap abstain Indonesia dalam sidang Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) yang membahas masalah nuklir Iran. "Hal itu dinyatakan oleh Wakil Presiden Iran saat bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla usai dilakukan voting," kata Menlu Hassan di sela mengikuti peninjauan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Garuda Wisnu Kencana Cultural Park di Jimbaran, Bali, Sabtu. Menlu mengatakan bahwa voting dalam sidang IAEA itu bukan mendukung atau tidak mendukung Iran, melainkan voting atas resolusi Dewan Gubernur IAEA yang sudah disepakati sebelumnya. Resolusi tersebut memuat dua hal, yaitu pertama, langkah-langkah yang perlu dilakukan Iran untuk menghapuskan kecurigaan adanya pengembangan nuklir Iran untuk senjata; dan kedua, bahwa masalah nuklir Iran akan dilaporkan ke Dewan Keamanan PBB. Indonesia, kata Menlu, setuju terhadap poin pertama, namun tidak menyetujui poin kedua. "Yang sensitif adalah pelaporan ke Dewan Keamanan. Karena itu kita mengambil sikap abstain," ujar Hassan. Sejak semula, katanya, Indonesia menganggap belum waktunya bagi IAEA untuk membawa masalah nuklir Iran ke Dewan Keamanan PBB melalui sidang khusus dewan gubernur di Wina, karena pada pertengahan Maret nanti IAEA akan mengadakan sidang regulernya. Menlu menambahkan Indonesia mendukung resolusi agar Iran bekerja sama dengan IAEA agar proses penggunaan teknologi nuklir untuk tujuan damai dan bukan untuk tujuan militer. Langkah itu juga termasuk perundingan Iran dengan Rusia agar proses pengayaan uranium dilakukan di Rusia serta melanjutkan perundingan dengan Uni Eropa. "Itu suatu permasalahan dalam resolusi (Dewan Gubernur IAEA). Kita dukung itu, karena itu memang proses yang harus dilakukan," kata Hassan. Resolusi Dewan Gubernur IAEA yang divoting adalah kewajiban melaporkan masalah Iran per tanggal 4 Februari 2006 ke Dewan Keamanan PBB. "Kita tolak ini karena (pertimbangan) tidak patut saat meminta Iran melakukan proses perundingan dan dialog, di pihak lain, masalahnya dibawa ke Dewan Keamanan PBB, sehingga menurut kita itu bukan cara yang efektif," kata Menlu. Menlu berpendapat persoalan Iran akan dibawa ke Dewan Keamanan atau tidak, lebih baik menunggu bulan Maret mendatang untuk melihat apakah Iran sudah mengambil langkah-langkah yang diminta atau belum. Masih terpecah Sementara itu, Juru Bicara Kepresidenan Dinopati Jalal Dino beberapa waktu lalu mengatakan hingga saat ini masyarakat internasional masih terpecah belah dalam masalah nuklir Iran tersebut. Dalam voting Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang diikuti oleh 35 negara, ia mengatakan sebanyak 27 negara setuju masalah nuklir Iran dibawa ke Dewan Keamanan PBB, lima negara termasuk Indonesia, abstain, sementara tiga menentang. Negara berkembang sendiri juga terpecah tiga, mereka yang mendukung dibawa ke Dewan Keamanan PBB antara lain India, Ghana, Mesir, Yaman dan Srilanka. Sementara yang abstain antara lain Indonesia, Belarusia, Libya dan Afrika Selatan, sedangkan yang menentang Suriah, Kuba dan Venezuela. Komposisi itu juga menunjukkan negara Islam terpecah belah. Bagi Indonesia, kata Dino, yang terpenting adalah penilaian objektif dari IAEA terhadap masalah nuklir Iran yang akan dikeluarkan pada 6 Maret 2006. Untuk itu, Menlu mengemukakan masalah sikap Indonesia itu perlu diperjelas sehingga semua pihak mengerti. Presiden sendiri, kata Menlu, sudah sejak awal mengatakan bahwa masalah Iran merupakan isu yang sangat penting. Bahkan, kata Menlu, pada Sabtu beberapa waktu lalu Presiden Yudhoyono memanggil tujuh duta besar (Dubes) negara sahabat, lima di antaranya adalah anggota Dewan Keamanan PBB, yakni Rusia, Amerika Serikat, Cina, Inggris dan Prancis sedangkan dua lainnya adalah Jerman dan Austria. Indonesia mendukung Iran dengan konsisten dalam penggunaan energi nuklir untuk kepentingan damai. "Karena kita juga punya kepentingan itu (menggunakan energi nuklir untuk kepentingan damai)," katanya. Pada kesempatan itu, Menlu menyatakan bahwa Indonesia tidak ingin konflik di Iran berkembang menjadi konflik terbuka. Ia mengatakan saat ini di wilayah tersebut sudah banyak konflik, seperti di Irak, Afghanistan, Suriah dan Palestina. Jika konflik bertambah maka situasinya tidak menguntungkan. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006