New York (ANTARA News) - Isu mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam tahanan Teluk Guantanamo, AS, sudah menjadi keprihatinan global sehingga wajar jika Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) juga merasa terpanggil untuk mengungkapkannya melalui suatu tim khusus. "Kondisi tahanan yang sulit secara fisik dan psikologis, keberadaan mereka dalam jangka lama tanpa dakwaan dan tanpa akses pada penasihat hukum dan pemantau HAM independent sudah menjadi keprihatinan global," kata mantan Ketua Komisi HAM PBB, Makarim Wibisono, ketika dihubungi ANTARA News dari New York. Menurut Makarim, yang juga Dubes RI untuk PBB-Jenewa, laporan yang dibuat para pemegang mandat Komisi HAM PBB itu didasarkan pada tanggungjawab profesional mereka, serta niat baik guna perlindungan HAM. "Dan, jangan lupa juga bahwa keprihatinan mengenai situasi tahanan di Guantanamo juga disuarakan oleh sejumlah tokoh dan kalangan di AS sendiri," katanya. Jadi, tambahnya, justru akan aneh jika mekanisme Komisi HAM PBB hanya tinggal diam atas situasi tersebut. Ia menjelaskan, laporan dalam bentuk joint report (laporan bersama) dari lima pemegang mandat Mekanisme Khusus Komisi HAM itu sesungguhnya merupakan laporan resmi mereka kepada Sidang ke-62 Komisi HAM PBB pada 13 Maret 2006. Laporan itu, menurut dia, adalah bagian dari pelaksanaan mandat kelimanya selaku aparat khusus Komisi HAM PBB bagi pemantauan situasi HAM di seluruh dunia. "Sesungguhnya pelaporan semacam ini secara rutin dan reguler dilakukan oleh sekitar 40-an pemegang mandat mekanisme khusus setiap tahun kepada komisi, sesuai dengan mandat masing-masing," ujarnya. Karena isinya berkaitan dengan satu isu yang menyentuh kepentingan sebuah negara adi daya, ia menilai, maka liputan media internasional luar biasa. Makarim menolak berkomentar mengenai sejauh mana akurasi laporan tersebut, yang menurut pihak AS hanya berdasarkan informasi tidak langsung. Namun laporan itu, kata Makarim, berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah mantan tahanan di Guantanamo yang saat ini telah dibebaskan ataupun berada dalam penanganan otoritas hukum sejumlah negara, serta berdasarkan kajian mereka atas sumber terbuka yang dihasilkan oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) HAM internasional. Hal ini terkait dengan penolakan konsisten otoritas AS terhadap permintaan kunjungan langsung ke lapangan (on-site visit) dari kelima pakar itu. AS pernah memberi izin Tim PBB untuk mengunjungi Guantanamo, namun itu menolaknya lantaran disertai persyaratan untuk tidak melakukan pertemuan langsung dengan tahanan, padahal itu merupakan prasyarat standar dalam setiap on-site visit bagi mekanisme HAM PBB. Satu-satunya lembaga internasional yang mendapatkan akses berkunjung ke Guantanamo adalah Komite Palang Merah Internasional (International Committee Red Cross/ICRC). Tapi, ICRC tidak diperbolehkan menyampaikan hasil temuannya kepada publik, sekalipun dari sana-sini akhirnya terdapat sejumlah informasi yang bocor, yang intinya cenderung menegaskan berbagai situasi dan tuduhan perlakuan negatif terhadap tahanan di Guantanamo selama ini, kata Makarim. Ia juga berpendapat bahwa laporan tim ahli tersebut tidak ada kaitannya dengan masih alotnya perundingan pembentukan Dewan HAM sebagai pengganti Komisi HAM. AS merupakan negara yang cukup gencar mengusulkan, agar sejumlah negara yang dianggap sebagai traditional human rights violators, tidak duduk dalam keanggotaan Dewan HAM. "Apakah laporan tersebut terkait dengan hal ini atau dengan alotnya proses negosiasi modalitas Dewan HAM, tentu hanya kelimanya yang tahu pasti. Tapi, saya tidak melihatnya demikian," ujarnya. Apalagi, lima anggota tim ahli HAM terebut memiliki latar belakang yang beragam. Misalnya, Manfred Novak asal Austria merupakan pakar HAM dari dunia Barat, dan Laila Zerugi merupakan pakar HAM dari negara berkembang dan dunia Islam sari Aljazair. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2006