Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif INDO Survei & Strategi (ISS) Hendrasmo menilai wacana pengaturan lembaga survei terkait publikasi hasil survei tentang partai politik, politisi, pemilukada, pemilu legisltaif dan pilpres, bertentangan dengan semangat reformasi.

"Upaya mengatur tersebut akan sia-sia, karena bertentangan dengan semangat reformasi dan kebebasan berekspresi," katanya di Jakarta, Minggu.

Hendrasmo mengatakan, yang harus dikendalikan sebenarnya perilaku elite politik di satu sisi, dan konsultan politik di sisi yang lain. "Elite politik tertentu terkadang sering narsis, dan berharap informasi yang menguntungkan pihaknya dipublikasikan untuk diketahui masyarakat," katanya.

Menurut dia, elite politik tertentu yang ingin diketahui orang bahwa mereka menganggap telah bekerja untuk partainya, dan mereka berharap bandwagon effect atau masyarakat akan cenderung mengikuti yang menang.

"Padahal, bandwagon effect tidak terbukti," katanya. Sedangkan, konsultan politik, sebaliknya, selain ingin mempengaruhi opini publik, tidak ingin mengecewakan kliennya.

"Coba lihat, tidak ada publikasi survei yang dilakukan konsultan politik dengan hasil yang dinilai bakal merugikan kliennya. Karena itu, rilis hasil survei yang dilakukan konsultan politik kepada media, tidak pernah netral dari kepentingan," kata Hendrasmo dalam keterangan tertulisnya kepada ANTARA.

Dia mengatakan, lembaga-lembaga survei yang dipercayai independen di luar negeri, mereka tidak akan pernah menjadi konsultan politik sekaligus, seperti MORI di Inggris atau Gallup di Amerika, walaupun mereka merupakan lembaga swasta.

Hendrasmo menegaskan, lembaga survei yang dipercayai independen itu bahwa hasil survei yang dilakukan konsultan biasanya dipergunakan untuk strategi pemenangan klien, tidak untuk dipublikasikan.

Menurut dia,  yang dibutuhkan sekarang adalah edukasi politik terus menerus terhadap publik menyangkut informasi politik.

"Jangan sampai publik terus menerus menjadi penonton. Informasi tentang suvei yang ada selama ini tidaklah cukup, misalnya jumlah responden dan metodologi. Potensi bias survei, paling besar justru terjadi saat di luar pengambilan sampelnya," katanya.

"Kalau kredibilitas survei mau dievaluasi, bisa mulai dilihat kuesionernya, susunan pertanyaan, juga bagaimana saat menanyakan kepada responden, dalam kenyataan bisa saja pewawancara agak memaksa responden menjawab pertanyaan yang sebenarnya sulit dijawab," kata Hendrasmo. (*)

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2011