Kuala Lumpur (ANTARA News) - Sudah beberapa hari ini Jamilah gundah.  Setiap hari ia mencek jejaring sosialnya untuk melihat kalau-kalau permintaan pertemanannya dengan seorang gadis remaja berusia 16 tahun diterima si gadis.

Ini bukan permintaan pertemanan biasa, karena gadis itu adalah Junita Hashlin, anak Jamilah yang terpisah dengannya selama 12 tahun lebih.

Jamilah sedih karena Junita belum juga menanggapinya. Sepertinya anak gadisnya itu enggan berteman dengannya.

"Saya ingin sekali bertemu dengannya. Saya ingin memeluknya, sekali saja," ucapnya lirih.

Junita terpisah dari ibunya karena dirampas ayahnya sendiri, Hashim, mantan suami Jamilah, pada 1999.

Medan, Sumatera Utara, adalah awal cerita Jamilah dimulai.

"Saya menikah dengan Hashim dan tinggal di Malaysia. Tahun 1995 saya punya anak Junita Hashlin lalu tahun 1997 lahir adiknya Mhd Hashben," kata Jamilah mengawali ceritanya.

Pernikahan mereka kandas pada 1998. Jamilah dan kedua anaknya pun pulang ke Medan, sementara Hashim tetap tinggal di Malaysia.

Sejak saat itu, Jamilah harus berjuang seorang diri menjadi ibu sekaligus ayah bagi kedua anaknya yang masih kecil.

Mantan suaminya tidak pernah sekalipun mengiriminya uang untuk biaya hidup anak-anaknya.

"Tanpa disangka-sangka, tahun 1999, saya ingat tanggal 29 Agustus waktu itu, Hashim datang. Bukan untuk memberi kami uang," kata Jamilah.

Dua hari kemudian, tatkala Jamilah tengah bekerja, kakaknya menelpon dan memberitahukan bahwa Hashim telah membawa lari kedua anaknya.

Jamilah menjerit histeris, berlari tak tentu arah. Melapor ke polisi pun tak membawa hasil. Polisi hanya berkata, 'kami tidak bisa berbuat apa-apa' dengan alasan anak-anak dibawa oleh ayahnya.

Semenjak itu, batin Jamilah tertekan dahsyat. Dia stres dan terus menangis.  Jika melihat anak kecil yang dipukul orang tuanya, ia bisa berteriak histeris, "Jangan pukul dia."

"Saya hampir gila mengingat anak-anak saya. Setahun saya stres hingga ibu saya meninggal," katanya.

Namun kepergian ibunya membangunkan kesadaran Jamilah.  Ia berangkat ke Malaysia dengan tujuan menemukan kembali dua buah hatinya itu.

Setiap kali berjumpa anak kecil yang seusia anaknya, Jamilah selalu berharap mereka itu adalah anaknya.

"Saya merasa yakin bahwa dia anak saya," katanya,  namun anaknya itu tidak pernah mau menjawab permintaan bertemannya dalam Facebook.

Suatu hari dalam pelaksanaan program 6 P (pemutihan pekerja asing tanpa izin) yang digelar pemerintah Malaysia, Jamilah berjumpa dengan mantan suaminya.

"Saya langsung tarik dia dan berkata, di mana anak saya?" katanya. Mantan suaminya menjawab, "Ada, di kampung sama saya. Coba kamu kasih nomor HP kamu nanti saya kasih ke dia untuk menghubungi kamu!"

Namun anaknya dan juga mantan suaminya itu tidak pernah meneleponnya, sampai kini.

"Saya sangat merindukan belaian tangan mungilnya waktu menghapus air mata saya di kala kami dalam kesusahan suatu ketika dulu. Selalu teringat ketika dia memeluk erat tubuh saya saat dia sedang bermanja," katanya.

Dia menutup kisahnya dengan kalimat yang bermunajat, "Ya Allah, jangan ambil nyawa saya sebelum saya bisa bertemu dengan anak gadis saya. Dia sangat berarti dalam hidup saya."

N004

Oleh N. Aulia Badar
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2011