Nusa Dua (ANTARA News) - Salah satu masalah penting ASEAN yang saat ini dibahas pada KTT ASEAN ke-19 di Nusa Dua, Bali, untuk dicarikan solusinya adalah sengketa Laut China Selatan.

Rangkaian ketegangan di Laut China Selatan ini melibatkan China dan empat negara ASEAN; Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Saling klaim di Laut China Selatan tidak hanya mempengaruhi keamanan dan perdamaian dunia, tetapi juga sumber daya laut di kawasan tersebut.

Untuk itu, mengutip Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana, KTT ASEAN di Nusa Dua harus mampu menyelesaikan ketegangan di Laut China Selatan.

"ASEAN seharusnya bisa menengahi konflik antarnegara di Laut China Selatan," kata Suhana kepada ANTARA.

Suhana melihat, konflik di Laut China Selatan mesti diakhir terutama karena isu ini erat kaitannya dengan maraknya illegal fishing di perairan kaya akan sumber daya perikanan itu.

Dan meski Indonesia tidak berkonflik langsung di situ, tetapi perikanana Indonesia akan dirugikan oleh berlarut-larutnya masalah itu.

Suhana mengkhawatirkan sengketa tak berujung di Laut China Selatan akan membuat pengawasan dalam kawasan itu melonggar.  Keadaan ini akan membahayakan industri perikanan nasional karen pelaku illegal fishing dari negara Asia Tenggara lain yang masuk dari Laut China Selatan akan masuk pula ke perairan Indonesia.

"Banyak pelaku illegal fishing di lautan Indonesia berasal dari negara-negara ASEAN," katanya.

Suhana juga melihat, konflik batas laut di Laut China Selatan akan mengganggu pemetaan pengelolaan kawasan itu.

Kekhawatiran serupa disampaikan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) M Riza Damanik.

"Konflik di Laut China Selatan yang tidak berakhir akan sangat mengganggu potensi sumber daya perikanan di daerah itu dan sekitarnya," katanya.

Dia mengkhawatirkan, konflik di Laut China Selatan akan membuat eksploitasi laut menjadi brutal di mana pencurian ikan akan menjadi-jadi, lalu merembet ke wilayah laut Indonesia.

Berdasarkan data yang dihimpun Kiara, kapal-kapal ikan China dan enam negara ASEAN kerap kedapatan mencuri ikan di perairan Indonesia. Keenam negara ASEAN itu adalah Vietnam, Malaysia, Thailand, Filipina, Kamboja, dan Myanmar.

Ini adalah tantangan bagi Indonesia, sekaligus ASEAN, apalagi tidak ada mekanisme bersama untuk mengatur soal eksploitasi laut yang liar ini.

Aktivis Human Rights Working Group (HRWG) Akbar Tanjung menengarai, mekanisme ASEAN untuk mengatasi illegal fishing belum terkoordinasi dengan baik, padahal pencurian ikan kian menjadi-jadi.

"Perkembangan di ASEAN terkait dalam membuat mekanisme persoalan maritim, termasuk pencurian ikan, masih merupakan hal yang baru," kata Akbar.

Akbar ingin Indonesia yang tengah mengetuai ASEAN bisa memanfaatkan momentum ini dengan membawa isu pencurian ikan yang merugikan Indonesia ini ke fora ASEAN.

ASEAN sendiri, hari ini, tengah menggelar pertemuan pejabat senior (Senior Officials` Meeting/SOM) ASEAN guna membahas code of conduct kerja sama antarnegara di sekitar Laut China Selatan.

Para pejabat senior ASEAN bertemu untuk pertama kali di Nusa Dua setelah menyepakati panduan penerapan declaration of conduct Juli lalu, menyangkut sengketa di Laut China Selatan, setelah perundingan sembilan tahun antara ASEAN dan China.

Kesepakatan itu menandai niat baik semua pihak dalam menekan ketegangan akibat saling klaim kepemilikan pulau-pulau kaya energi di kawasan tersebut.

Setelah kesepakatan itu, semua pihak akan berunding mengenai hal-hal spesifik dan teknis dari code of conduct itu.

Pertemuan antarpejabat senior ASEAN adalah kegiatan awal menuju KTT ke-19 ASEAN yang akan dihadiri para pemimpin puncak ASEAN, sedangkan pemimpin China, Korea Selatan dan Jepang akan menghadiri KTT ASEAN+3 dan KTT Asia Timur.

Pada KTT yang terakhir disebut, bakal hadir pula kepala negara/pemerintahan Amerika Serikat, Rusia, Australia, Selandia Baru dan India.(*)

M040*F008//A011

Oleh Muhammad Razi Rahman
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2011