Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia terus mendesak Australia untuk memberikan akses kekonsuleran secara penuh kepada pihak berwenang RI --sesuai Konvensi Wina tahun 1961-- terhadap para 43 warga Papua, kendati sebagian besar dari mereka menyatakan kepada otoritas Australia bahwa mereka tidak ingin menggunakan akses tersebut. Pernyataan itu dikemukakan Juru Bicara Departemen Luar Negeri Yuri O Thamrin kepada wartawan di Jakarta, Jumat. "Akses kekonsuleran tersebut adalah hak kita sesuai dengan Konvensi Wina tahun 1961, jadi tidak tergantung dari individunya melainkan akses yang sah bagi perwakilan kita untuk bertemu dengan warga negara," kata Yuri. Menurut Yuri, hingga saat ini Indonesia masih terus mengupayakan untuk memperoleh akses kekonsuleran tersebut karena itu adalah hak Indonesia sebagai negara tidak terkait dengan bersedia atau tidak bersedianya individu. "Hingga saat ini yang kita peroleh barulah penjelasan dari pihak imigrasi setempat, kita hargai penjelasan tersebut tetapi tentu saja penjelasan itu tidak mengurangi hak kita untuk memperoleh akses kekonsuleran," ujarnya. Pada kesempatan sebelumnya, Yuri mengungkapkan bahwa status pendatang ilegal yang dikenakan terhadap 43 warga Papua itu ternyata tidak sesuai dengan pemberlakuan peraturan mengenai permintaan visa Australia. "Kita merasa aneh. Pokok persoalan adalah bahwa mereka (warga Papua, red) merupakan `illegal imigrant`, tapi pertimbangan visa mereka diberikan, dan kemudian dipertimbangkan status suakanya," kata Yuri. Karena itu, Yuri kembali menyampaikan permintaan Indonesia agar Pemerintah Australia mempertimbangkan pemberian status dengan berpijak kepada Konvensi PBB tahun 1951 tentang Pengungsi. Konvensi itu mengatur bahwa mereka yang boleh diberi status suaka politik adalah mereka yang di negara asalnya memiliki alasan berada dalam ketakutan akan mengalami proses hukum karena pandangan politik, ras atau agama. "Saya sudah berkoordinasi dengan Kapolda Papua, bahw 43 warga Papua itu tidak masuk dalam `wanted-list` (daftar pencarian orang, red)," ujar Yuri.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2006