Nusa Dua, Bali (ANTARA News) - Daya tawar Indonesia di depan kaum Muslim di Timur Tengah relatif tinggi tetapi Jakarta belum proaktif untuk memaksimalkannya, kata Direktur Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Prof. Dr. Azyumardi Azra di Nusa Dua, Bali, Rabu.

"Kementerian Luar Negeri Indonesia harus melihat fakta ini sehingga dapat berkontribusi lebih besar," kata Azyumardi ketika berbicara dalam lokakarya bertema "Peran Masyarakat Sipil dan Media Sosial dalam Partisipasi Berdemokrasi" yang diadakan Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik, Kementerian Luar Negeri, sehari menjelang pelaksanaan Forum Demokrasi Bali (BDF) IV yang akan berlangsung di Nusa Dua, Bali, 8-9 Desember 2011.

Lokakarya yang dibuka Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik, A.M. Fachir, itu menghadirkan nara sumber lainnya yaitu Asisten Wakil Presiden RI bidang Luar Negeri Prof. DR. Dewi Fortuna Anwar, dan Direktur Eksekutif Institute for Peace and Democracy (IPD) DR. I Ketut Putra Erawan.

Azyumardi yang menyoroti peran masyarakat sipil dalam konteks Islam mengatakan Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim dan melaksanakan demokrasi menjadi perhatian dari banyak negara dan menjadi model untuk pelaksanaan demokrasi.

Menurut dia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadyah merupakan contoh organisasi Islam yang berperan mendorong pembangunan peradaban di Indonesia termasuk proses demokrasi yang dijalaninya.

"Sebagai bagian dari masyarakat madani, kedua organisasi massa itu berperan penting dalam membangun kekompakan kelompok sipil," kata Azyumardi yang juga penasehat IPD.

Ia menyebut peran besar yang dimainkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Duri) dari Nahdlatul Ulama dan Prof. DR. Amien Rais dari Muhammadyah di awal era reformasi.

Selain itu, katanya, demokrasi di Indonesia diperkuat oleh kelas menengah yang mencapai 130 juta orang, lebih dari 50 persen dari jumlah total penduduk Indonesia.

Menyinggung perkembangan terakhir di kawasan Timur Tengah, dia berpendapat bahwa masyarakat sipil atau masyarakat madani tidak ada di kawasan itu yang kental dengan faham sektarian.

Dikatakannya, masyarakat sipil memiliki peran untuk mendorong proses ke arah menuju negara demokratis. Para pakar, akademisi dan sejumlah insan media nasional dan asing hadir dan bertukar pikiran pada kesempatan tersebut.

Yuli Mumpuni, mantan duta besar RI untuk Aljazair, mengatakan organisasi keagamaan di Timur Tengah berbeda dari apa yang dilakukan Nahdlatul Ulama dan Muhammadyah.

"Mereka tak terbuka dan tak terlibat dalam pembahasan politik," ujarnya.

Menurut Yuli, media massa seperti televisi transnasional telah membentuk opini soal ide demokrasi selama tiga tahun terakhir.

Sementara itu I Ketut Putra Erawan mengatakan Indonesia menyelenggarakan BDF sejak 2008 sebagai forum untuk berbagi pengalaman dalam praktek berdemokrasi.

"Kita tidak mencoba mengkaji ulang praktek-praktek demokrasi yang dilakukan oleh suatu negara dan tak menawarkan demokrasi Indonesia kepada negara-negara lain," katanya.

Menurut dia, pendekatan yang dilakukan adalah inklusif, tak menggurui dan membiarkan demokrasi tumbuh di dalam negara itu sendiri sesuai dengan kulturnya.

"Esensi dari demokrasi adalah melibatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan," katanya.

Masyarakat madani

Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar mengatakan tak semua negara memberi izin atau membatasi keberadaan masyarakat madani di negaranya karena berbagai alasan.

Dewi mengatakan masyarakat madani yang otonom tidak disponsori oleh pemerintah dengan fungsi antara lain ikut mempengaruhi (advokasi) apa yang menjadi kebijakan publik, memberdayakan masyarakat dan menjadi wadah bagi mereka yang masuk ke dunia poltik.

"Media massa bagian dari masyarakat madani yang menyuarakan aspirasi masyarakat," katanya.

Ia juga menyinggung keberadaan lembaga pemikir di Indonesia seperti CSIS, CIDES, LIPI, LP3S, The Habibie Center yang menggodok agenda-agenda untuk dimajukan ke pemerintah.

Azyumardi, Dewi dan Ketut sependapat bahwa BDF yang pada tahun 2011 diadakan untuk keempat kali sedikit-banyak memberi sumbangan bagi kawasan Asia Pasifik umumnya dan Myanmar khususnya.

Wakil dari Myanmar akan ikut BDF menyusul terpilihnya negara itu menjadi Ketua ASEAN pada 2014.

"Pemimpin Myanmar telah mengambil langkah-langkah negara demokratis, termasuk pembebasan Auang San Suu Kyi dan sejumlah tahanan politik dan mengizinkan unjuk rasa," kata Dewi.

39 negara

Sedikitnya delapan kepala negara/pemerintahan dan 22 menteri dari 39 negara peserta dan 41 peninjau akan menghadiri BDF IV yang akan berlangsung di Nusa Dua, Bali, 8-9 Desember 2011.

?Tingkat partisipasi yang meningkat dari tahun ke tahun menunjukkan BDF semakin menjadi icon dari promosi nilai-nilai demokrasi di kawasan,? kata Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik, A.M. Fachir.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan membuka BDF IV pada Rabu (8/12).

BDF IV bertema ?Peningkatan Partisipasi Demokratis dalam Suatu Dunia yang Berubah: Merespon Suara-Suara Demokratis". Pada hari kedua Kamis (9/12), negara-negara peserta akan bertukar pandangan dalam dua sesi interaktif mengenai ?Kemampuan Negara Merespon Suara Demokratis" dan "Memastikan Cukup Ruang untuk Partisipasi Masyarakat Madani."

Dalam pertemuan yang diketuai bersama oleh Presiden SBY dan PM Bangladesh Sheikh Hasina Wajed itu, negara-negara peserta diharapkan dapat menyepakati "Chairman?s Statement". Sejumlah rekomendasi dan pedoman bagi program-program kerja sama regional mengenai demokrasi pada tahun 2012 akan tercermin dalam dokumen tersebut.

(M016)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2011