Purwokerto (ANTARA) - Beberapa waktu belakangan ini, penyakit mulut dan kuku (PMK) kembali muncul dan menyerang ribuan hewan ternak di sejumlah wilayah di Indonesia.

Padahal, Indonesia sejak tahun 1986 telah dinyatakan bebas PMK dan pada tahun 1990 mendapat pengakuan dari Organisasi Kesehatan Hewan Dunia.

Tentunya, pemerintah dan seluruh pihak terkait harus bergerak cepat mengambil semua tindakan untuk mencegah meluasnya PMK. Pasalnya, jika terlanjur meluas maka dikhawatirkan membutuhkan waktu yang lama dan biaya besar untuk kembali bebas.

Pengajar Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) bidang khusus penanganan pascapanen dan teknologi pengolahan hasil ternak Juni Sumarmono, PhD mengatakan PMK atau "Foot and Mouth Disease" (FMD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan menyerang hewan berkaki belah seperti sapi, kambing, kerbau, domba, dan babi.

PMK bersifat akut, cepat menyebar dan menimbulkan kerugian yang besar karena dapat menurunkan produktivitas ternak hingga kematian.

Virus penyakit mulut dan kuku merupakan anggota dari genus aphthovirus yang termasuk keluarga Picornaviridae.

Hewan yang terserang virus penyakit mulut dan kuku ini akan menunjukkan gejala umum meliputi demam yang disertai luka-luka melepuh di lidah, bibir, mulut, puting susu dan di antara kuku.

Virus PMK dapat ditemukan pada semua sekresi hewan yang terinfeksi, termasuk udara yang diembuskan melalui saluran napas. Dengan demikian maka cara pencegahannya serupa dengan mencegah penyebaran COVID-19.

Baca juga: DPRD Jateng minta pengawasan lalu lintas ternak dioptimalkan cegah PMK

Upaya pencegahan dimaksud antara lain dengan melakukan isolasi hewan yang terinfeksi, menutup kawasan yang belum ada kasus dari masuknya hewan berkuku belah dari daerah lain, disinfeksi dan juga pemusnahan hewan atau bagian hewan yang mati karena PMK.

Juni Sumarmono menambahkan bahwa virus penyakit mulut dan kuku menyebar dari hewan ke hewan dan hingga saat ini belum ada bukti kuat bahwa virus yang menyebabkan PMK, dapat menular pada manusia melalui daging atau susu hewan yang terkena PMK.

Terlebih jika daging atau susu tersebut dimasak dengan suhu tinggi minimal 70 derajat Celsius dan dalam rentang waktu yang cukup.

Tentunya, untuk mencegah meluasnya PMK maka masyarakat juga dapat ikut berperan aktif dan berpartisipasi dengan cara melaporkan kasus PMK pada hewan yang dimiliki, membakar sisa-sisa hewan yang terinfeksi, serta yang paling penting dengan tidak membawa hewan terinfeksi ke daerah lain.

Pada intinya, menerapkan biosekuriti yang ketat, guna mencegah penyebaran kuman penyakit karena keberhasilan budi daya ternak sangat dipengaruhi oleh biosekuriti ketat dan manajemen kesehatan ternak yang baik.

Biosekuriti yang dimaksud merupakan berbagai langkah upaya yang dipersiapkan untuk mencegah masuknya kuman dan penyakit ke dalam peternakan sekaligus juga mencegah penyebaran penyakit ke luar peternakan.

Dia menambahkan bahwa masyarakat perlu waspada namun tidak perlu panik, sedangkan yang terpenting daging atau susu ternak diolah dengan baik, dengan suhu tinggi dan waktu yang cukup serta tidak terkena kontaminasi ulang, misal setelah dimasak tidak boleh tercampur dengan bagian ternak yang masih mentah.

Selain itu, daging yang dikonsumsi juga harus berasal dari ternak yang mati karena disembelih, bukan ternak yang mati terlebih dahulu baru disembelih.

Baca juga: Pemkab Bogor imbau peternak batasi pasokan hewan dari daerah rawan PMK

Yang perlu diingat, sebaiknya ternak yang jelas terinfeksi PMK diobati dulu hingga sembuh sebelum disembelih atau susunya dikonsumsi.

Upaya Antisipasi

Sementara itu, akademisi dari Fakultas Peternakan Unsoed lainnya drh. Mohandas Indradji, M.P. menambahkan meskipun tidak terbukti menular pada manusia namun masyarakat yang kontak langsung dengan hewan yang positif PMK diimbau segera melaporkan diri ke dinas terkait.

Masyarakat, kata dia, juga perlu segera melaporkan jika menemukan hewan ternak dengan gejala penyakit mulut dan kuku misalkan demam tinggi, hilangnya nafsu makan, muncul erosi di lidah, gusi, bibir dan hidung serta air liur menetes dalam jumlah banyak.

Pengajar bidang kesehatan masyarakat veteriner atau epidemiologis penyakit hewan itu, menambahkan bahwa gejala umum lainnya hewan berjalan pincang, muncul radang pada kuku, dan kadang disertai kembung dan kuku lepas.

Menurut Indradji, upaya antisipasi penyebaran PMK memang perlu dilakukan secara masif karena produktivitas hewan yang terserang penyakit ini dapat menurun drastis sekitar 15 hingga 50 persen. Selain itu, penularan pada ternak lain juga sangat cepat dan dapat menyebabkan kematian.

Dengan demikian, pengawasan lalu lintas hewan ternak dan langkah pemusnahan bagi hewan yang terkonfirmasi positif harus dilakukan.

Selain itu, menurut dia, yang terpenting segera menjalankan program vaksinasi massal dan tidak melakukan impor ternak atau produk ternak dari negara yang tidak bebas PMK.

Baca juga: Karantina Pertanian Surabaya tolak transit sapi asal Kupang

Bila melihat narasi tersebut di atas, maka perlu ada gerakan bersama untuk mencegah meluasnya penyakit mulut dan kuku.

Pengawasan dan pemantauan PMK di tingkat kabupaten/kota oleh masing-masing dinas terkait perlu dioptimalkan.

Selain itu, sosialisasi dan edukasi kepada para peternak, pedagang ternak dan seluruh pihak terkait lainnya juga harus dilakukan secara intensif.

Yang tidak kalah penting tentunya juga perlunya melakukan zonasi dan pencegahan mobilitas ternak, khususnya ke daerah yang masih bebas PMK.

Selain itu, jika diperlukan maka pusat-pusat karantina harus dioptimalkan peranannya.

Baca juga: Empat ekor sapi terjangkit PMK di Rembang dinyatakan sembuh
Baca juga: Dinpanpertan Bangka catat 169 sapi suspek PMK
Baca juga: Akademisi tekankan pentingnya disinfeksi kandang cegah penyebaran PMK

Pewarta: Wuryanti Puspitasari
Editor: M. Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2022