Seorang pria kumal mengenakan kemeja tak berkancing duduk terpaku `tegang` di teras salah satu ruang rawat inap pada Kompleks Cenderawasih Satu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad Pekanbaru, Riau.

Wajahnya tampak pucat seakan usai melihat datangnya "malaikat pencabut nyawa". Sementara dua matanya memandang hampa pemandangan yang ada di sekililingnya.

Pria itu bernama Mispani, warga Desa Empang Pandang, Kecamatan Koto Gasib, Kabupaten Siak, Riau. Di usianya yang beranjak 47 tahun, laki-laki ini harus menerima kepedihan yang luar biasa akibat kanker ganas yang menempel dan menggerogoti batang lehernya.

"Sudah lebih dua minggu dia dirawat di rumah sakit ini," kata seorang pria yang berada di sampingnya. Pria ini mengaku bernama Sanipan (63), juga paman kandung dari Mispani, Kamis (8/12).

"Tapi selama di sini, perawat sama dokter tidak berbuat banyak. Paling hanya dilihat dan pergi lagi. Janji mau dioperasi, eh` malah disuruh pulang. Saya kecewa," sambungnya.

Sanipan bercerita, sebelum dirawat inap di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, pria malang yang kesehariannya hanya bekerja sebagai buruh tani itu sempat berobat jalan.

Namun akibat kondisi kesehatan yang semakin hari semakin parah, pihak keluarga kemudian merujuknya ke rumah sakit pemerintah yang ada di Kabupaten Siak.

"Ada sekitar dua minggu dia dirawat di Rumah Sakit Siak. Karena dokter di rumah sakit itu tidak sanggup merawat, mereka merujuknya ke RSUD Arifin Achmad," katanya.

Berlandaskan rujukan tersebut, ujar Sanipan, dirinya bersama anggota keluarga lainnya termasuk seorang isteri dan anak Mispani yang baru berusia enam tahun serta seorang kakak kandung pria malang itu bernama Sukatmi (50) bersama-sama mendatangi RSUD Arifin Achmad.

Dengan bermodalkan surat keterangan tidak mampu dari seorang Kepala Desa, Sanipan berusaha untuk tetap `gagah` menuju rumah sakit milik pemerintah itu.

Namun kegagahan itu seakan percuma, pihak RSUD Arifin Achmad justru menolak lembaran surat keterangan tidak mampu tersebut.

"Kami kembali disarankan untuk berobat jalan, tapi tidak gratis," ujarnya.

Selama berobat jalan itu, kata Sanipan, telah terkuras uang sekitar lebih dari Rp4 juta untuk membeli berbagai jenis obat-obatan.

"Tapi semuanya itu percuma, penyakit keponakan saya ini semakin parah. Pembengkakan di lehernya itu terus membesar, uang pun` habis," ujarnya.


Jamkesda

Dengan sedikit `menurunkan dada`, Sanipan berasama kerabat lainnya kemudian berusaha memberanikan diri untuk menemui sejumlah pejabat rumah sakit itu.

"Ada saya ketemu dengan beberapa dokter, mereka menyarankan saya untuk mengurus kartu Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah). Saya kemudian mengurusnya," katanya.

Beberapa hari kemudian, Sanipan akhirnya berhasil mendapatkan kartu Jamkesda tersebut. Dengan penuh harapan, pria yang juga buruh petani dengan gaji tidak lebih satu juta rupiah per bulannya ini kembali menemui para pejabat rumah sakit.

"Waktu itu mereka kemudian merespon dan menyuruh saya untuk segera membawa keponakan saya ini ke rumah sakit untuk di rawat. Katanya akan dioperasi," tuturnya.

Tapi sayang `seribu kali sayang`, janji operasi itu tak kunjung terlaksana. Pihak rumah sakit beralasan jika keponakan Sanipan itu tidak lagi bisa dioperasi mengingat kondisinya yang kian kritis.

Jalan terakhir kata dokter itu, ujarnya, untuk kesembuhannya, Mispani harus menjalani kemoterapi atau pengobatan dengan menggunakan zat kimia.

"Ada satu kali dia dikemoterapi, sehabis itu, langsung disuruh pulang. Padahal kondisinya belum pulih. Bahkan untuk makan saja dia masih belum bisa," kata Sukatmi, kakak kandung Mispani.

Wanita berusia 50 tahun ini secara tiba-tiba muncul di hadapan sejumlah wartawan (termasuk ANTARA) yang mengerumuni Mispani. Ia mengaku kesal dengan pihak rumah sakit yang menurutnya tidak berpihak terhadap orang susah seperti Mispani.

"Kami orang miskin, semuanya serba susah. Bahkan untuk berobat gratis pun harus mengemis," kata wanita itu dengan wajah yang mulai berkerut. Matanya bahkan mulai berkaca-kaca.

Spontan, Sukatmi yang kala itu mengenakan daster `jingga` bermotif bunga-bunga, menangis dengan raungan kencang. Teriakan `cengengnya` sampai-sampai menarik perhatian banyak orang yang berada di radius maksimal 100 meter.

"Saya kecewa, dia belum lagi sembuh tapi sudah disuruh pulang," kata wanita itu sambil mengumpulkan pakaian dan perlengkapan perawatan milik sang dinda yang malang.

Perlahan, usai berkemas, wanita itu kemudian berusaha merangkul lengan sebelah kanan Mispani yang tak bercakap sepatah` kata pun`.

Laki-laki malang itu kemudian didudukan pada kursi roda yang kemudian di kemudikan oleh salah seorang perawat yang `menyeretnya` keluar dari ruang Kompleks Cenderawasih Satu RSUD Arifin Achmad.


Bantah Mengusir

Pihak RSUD Arifin Achmad Pekanbaru melalui Kepala Bidang Pelayanan Medik, dr Riswaldi Munir, dalam keterangan resminya di hadapan sejumlah wartawan menyangkal secara tegas tudingan jika pihaknya telah melakukan pengusiran terhadap Mispani.

"Kami tidak pernah mengusir pasien bernama Mispani. Sejumlah keterangan tenaga medis menyatakan kalau kepulangan Mispani atas dasar persetujuan pihak keluarga pasien," katanya.

Mispani menurut dr Riswaldi, sebelumnya masuk dan di rawat di RSUD pada akhir November 2011 lalu. Berulang petugas medis yang merawat pasien tersebut secara rutin mengawasi kondisi kesehatannya.

"Vonis terakhir, Mispani menderita kanker ganas stadium empat atau dalam ilmu kedokteran dikenal dengan sebutan nasofarin," ujarnya.

Akibat kondisi yang kian kritis, menurut dr Riswaldi, tim medis yang menangani Mispani memutuskan untuk tidak melakukan operasi mengingat potensi kemunculan dampak negatifnya yang sangat besar.

"Sebagai alternatif, pasien ini kemudian disarankan untuk menjalani terapi kimia atau kemoterapi. Atas persetujuan keluarga, dia sempat dikemo satu kali. Dengan kondisi yang mulai sedikit membaik, kami kemudian menyarankan ke pihak keluarga agar si pasien dirawat jalan," tuturnya.

Usulan rawat jalan Mispani kemudian kata dr Riswaldi, disetujui oleh pihak keluarga. Dengan catatan, sambungnya, pasien harus tetap melakukan cek kesehatannya secara rutin, termasuk kemoterapi sesuai jadual yang telah ditetapkan.

"Intinya, kami tetap berkomitmen untuk memberikan pelayanan optimal dan terbaik untuk seluruh pasien RSUD tanpa terkecuali. Sekalipun pasien tersebut merupakan pasien Jamkesda," ujar dia.

Nantinya, kata dia, dalam rawat jalan, keluarga pasien juga disarankan untuk terus mengkonfirmasi kondisi atau perkembangan kesehatan Mispani.

"Jika tak kunjung mengalami kesembuhan, keluarga pasien kami minta atau dianjurkan untuk kembali merujuk Mispani ke RSUD untuk kemoterapi," demikian dr Riswaldi Munir. (FZR/Z002)

Oleh Fazar Muhardi
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2011