Jakarta (ANTARA News) - Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) PP Muhammadiyah meminta sesegera mungkin pemerintah melakukan revisi berbagai kebijakan yang memperbolehkan asing untuk memiliki 99 persen aset atau modal.

"Ini untuk menghindari eksplosi sosial sebagai bom waktu yang akan mengganggu stabilitas nasional, seperti salah satunya yang terjadi pada kasus demonstrasi karyawan PT Freeport Indonesia di Papua," kata Ketua MEK PP Muhammadiyah, Syafrudin Anhar.

Pihaknya juga meminta pemerintah untuk mereorientasi paradigma ekonomi yang didasarkan pada konsitusi ekonomi nasional, yakni pasal 33 UUD 1945.

Menurut dia, dinamika perekonomian nasional telah keluar dari filosofi dan paradigma dasar pembangunan nasional yang sesuai semangat pasal 33 UUD 1945.

"Perekonomian nasional telah memproduksi tingkat kesenjangan antarpelaku ekonomi dan antarwilayah serta ketidakadilan yang semakin akut. Kondisi ini semakin dipicu kebijakan liberalisasi ekonomi yang berdampak pada penguasaan asing terhadap berbagai aset di perusahaan-perusahaan negara baik perusahaan di sektor perbankan maupun komoditas," katanya.

Pihaknya juga mengkritisi tingkat pertumbuhan ekonomi yang ternyata ditolong oleh kontribusi sektor konsumsi domestik (swasta dan pemerintah) sebesar 57 persen.

Komposisi swasta (masyarakat), kata dia, dalam membentuk konsumsi domestik ternyata ditopang oleh kelas menengah-bawah, yang memiliki karakteristik kurang mandiri dan relatif "buta" persoalan sosial, budaya, dan politik.

"Bahkan, pertumbuhan ekonomi ternyata kurang mampu menyerap lapangan kerja secara signifikan. Implikasi dari hal itu, membuat pertumbuhan ekonomi nasional kurang bermutu," katanya.

Oleh karena itu, pihaknya meminta agar ada kebijakan untuk melakukan gerakan penyadaran dalam membangun kualitas kelas menengah-bawah.

"Fokus utama dalam penguatan kelas menengah ini diprioritaskan pada kelas menengah perdesaan, sehingga kekokohan kualitas pertumbuhan ekonomi bertumpu di wilayah perdesaan," katanya.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi harus mampu menjangkau partisipasi ekonomi rakyat, tidak semata bertumpu pada segelintir elite ekonomi.

Pihaknya juga meminta adanya pemihakan dalam bentuk regulasi, terutama kebijakan advokatif bagi usaha kecil dan informal khususnya akses seluas-luasnya bagi usaha kecil dan informal, yang selama ini layak atau feasible tapi dianggap pihak bank tidak bankable.

Pemerintah perlu melakukan pemihakan dalam bentuk regulasi dan advokasi, bahkan program pembiayaan dan kredit murah bagi usaha kecil dan informal, melalui Lembaga Keuanga Mikro, demikian Syafrudin Anhar. (H016)

Editor: Ade P Marboen
COPYRIGHT © ANTARA 2011