Jakarta (ANTARA News) - Rumah-rumah kecil berdempet-dempet itu bukan sekedar tempat tinggal, karena di tiap dapurnya tampak beberapa orang sibuk bekerja dengan tungku pembakaran yang menyala, wajan besar serta tong dan ember-ember penuh di sekelilingnya.

Ny Purwanto saat itu memang sedang sibuk membuat tahu. Setiap harinya ia dan beberapa pegawainya sanggup menjadikan 50 kg kedelai menjadi empat bleg tahu dikalikan 5-7 kali memasak, dimana satu bleg berisi 70-80 tahu.

Bahkan 50-65 kg ampas tahunya yang masih memiliki kandungan protein ia buat menjadi tepung, yang jika ditambah dengan tepung tapioka, 10 kg ampas tahu bisa menjadi 13 kg kerupuk yang kemudian juga dijual eceran ukuran satu plastik satu ons.

Sebanyak 312 warga Desa Kalisari, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, memang sudah sangat lama menjadi produsen tahu skala rumah tangga, dengan kapasitas bervariasi, dari mulai 10 kg per hari sampai dengan kapasitas 250 kg per hari.

Jika limbah padat atau ampas tahu Ny Purwanto masih bermanfaat dan bisa dijadikan tepung dan kerupuk, maka sisa limbah cairnya tidak ada jalan lain, terpaksa dibuang langsung ke selokan dan sungai.

Tentu saja ini membuat aroma udara di kawasan tempat tinggalnya itu menjadi sangat memuakkan dan tak nyaman ditinggali.

Unit Pengolah
Namun lingkungan berbau busuk menyengat adalah kisah Ny Purwanto di masa lalu, karena kini pencemaran yang berasal dari limbah usaha kecil penghasil tahu di sepanjang aliran air menuju sungai di Desa Kalisari, khususnya di lingkungan RT-nya tidak pernah dikeluhkan lagi.

Sejak 2010 limbah tahu 16 usaha kecil penghasil tahu yang biasa dibuang langsung ke selokan itu dialihkan ke Unit Percontohan Pengolah Limbah Tahu Cair berkapasitas 5.000 liter per hari, hibah dari Kementerian Riset dan Teknologi bersama BPPT.

Dua tangki besar dengan volume masing-masing di kisaran 10 m3 berwarna biru dan berlogo "Ristek" berdiri di lokasi berpagar yang luasnya tak lebih dari 100 meter persegi, tak jauh dari perumahan warga penghasil tahu itu.

Tangki pertama, merupakan bak penampung aliran limbah cair dari pabrik-pabrik tahu skala rumah tangga di sekitar unit yang diisi dua kali per harinya setiap jam 07.00 WIB dan 14.00 WIB selama sekitar sejam usai produksi tahu.

Tangki berikutnya merupakan reaktor, tempat dimana limbah cair tahu diproses menjadi biogas oleh bakteri untuk kemudian disalurkan kembali ke 25 perumahan warga sekitar untuk keperluan memasak.

"Warga senang karena selain lingkungannya tidak lagi bau, warga juga tidak perlu lagi membeli gas untuk memasak keperluan sehari-hari," kata Kepala Desa Kalisari, Wibowo.

Di tangki kedua itu limbah tahu yang mengandung protein, karbohidrat dan glukosa itu dimakan oleh bakteri yang awalnya dibiakkan dari kotoran sapi yang direndam bersama potongan-potongan bambu. Dengan limbah tahu proses produksi biogas dari kotoran sapi lebih dipercepat.

"Ke-25 warga ini diminta membayar iuran anggota Rp20 ribu per bulan untuk memelihara unit ini. Tapi warga merasa tetap beruntung karena tidak perlu lagi membeli gas yang harganya sekitar Rp60 ribuan per bulan untuk memasak," katanya.

Ia mengakui, gas yang dihasilkan dari unit tersebut memang belum mampu mencukupi kebutuhan warga memproduksi tahu dan sekedar untuk keperluan memasak rumah tangga sehari-hari.

Unit Berikutnya
Karena itulah, ujar Wibowo, warga menyambut gembira ketika pada akhir 2011 Kemristek dan BPPT kembali datang mendirikan Unit Pengolah Limbah Tahu Cair berikutnya, tidak jauh dari unit pertama.

Kali ini berkapasias 2.000 liter limbah cair per hari yang limbahnya diambil dari tujuh usaha kecil penghasil tahu lainnya.

Hanya saja, ujar Wibowo, unit ini menggunakan sistem gravitasi, dimana letak lokasinya lebih rendah dari perumahan penduduk, sehingga tidak dibutuhkan lagi listrik untuk mengisi bak penampungan.

Dengan gaya gravitasi, limbah dengan sendirinya terus mengalir ke unit tersebut selama dilakukan produksi tahu di rumah-rumah warga.

"Unit ini ternyata lebih baik, karena dari tujuh pabrik tahu bisa dihasilkan gas untuk 18 rumah tangga," katanya.

Ia mengingatkan, keuntungan warga tidak hanya didapat dari gas yang dihasilkan, tapi juga dari berkurangnya pencemaran limbah tahu ke sungai desa, dari pH air sungai yang mencapai 4,5 kini sudah kembali mendekati normal (pH 6,5).

Kepala Desa ini berharap Kemristek membangun lebih banyak lagi unit pengolahan limbah tahu di desanya.

"Di desa saya ada total 312 usaha kecil penghasil tahu, jadi sebenarnya masih banyak dibutuhkan unit-unit seperti ini agar pencemaran limbah tahu benar-benar bisa teratasi," katanya.

Ia juga berharap unit pengolahan limbah tahu bisa menghasilkan biogas lebih dari sekedar untuk keperluan rumah tangga.

"Lebih baik lagi kalau bisa digunakan untuk keperluan produksi tahu yang selama ini masih menggunakan kayu bakar," kata Wibowo sambil mengatakan bahwa warga menghabiskan satu Colt kayu untuk dua minggu keperluan produksi tahu kapasitas 50 kg per hari.

Sementara itu, Asisten Deputi Menristek bidang Iptek Masyarakat Momon Sardyatmo yang berkunjung ke desa tersebut, mengatakan, dua unit pengolah limbah tahu ini adalah unit percontohan, karena itu diharapkan justru wargalah yang melanjutkan unit-unit berikutnya.

"Jika memang masyarakat merasa unit pengolah limbah tahu tersebut berguna bagi mereka, mereka bisa bergotong-royong membangun lagi unit seperti ini," kata Momon.

Menurut dia, tangki penampung dan reaktor sebenarnya bisa dipesan di tempat-tempat tertentu, kemudian instalasinya juga bisa dibuat sendiri oleh warga dengan belajar dari unit yang sudah ada.

Masyarakat, ujarnya, seharusnya bisa lebih mandiri dan memiliki inisiatif serta tekad untuk mengatasi permasalahan di desanya masing-masing.
(D009)

Pewarta: Dewanti Lestari
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2011