Dalam amandemen UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 2002, Pasal 33 Ayat (4) menjadi: Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan dan kemajuan ekonomi nasional.  

Dengan demikian perekonomian nasional ditata mengacu  pada demokrasi ekonomi yang mengandung prinsip keberlanjutan dan berwawasan lingkungan.

Adanya terminologi keberlanjutan dan berwawasan lingkungan inilah yang menjadi sumber hukum perlunya UU tentang Pengelolaan Lingkungan.  

Telah tiga kali UU lingkungan mengalami pembaruan, pertama pada tahun 1982, kedua pada tahun 1997,  hingga UU Nomor  32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang saat ini mengikat kita semua dalam hal lingkungan.

Pembangunan berkelanjutan menjadi asas dari  desain pembangunan nasional.  Pembangunan berkelanjutan dimaknai sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup, serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Rangkaian kata dalam konsep pembangunan berkelanjutan ini sangat indah dalam bingkai kalimat, bak mengecat langit?  Namun dalam ruang relita, ada segelintir orang yang skeptis!  

Tengok saja kondisi lingkungan dari daerah perkotaan (urban) yang kumuh, timbulan sampah, kondisi sungai tercemar di perkotaan, kondisi lahan bekas tambang, kondisi hutan yang gundul, konversi lahan pertanian produktif menjadi pemukiman, dsb.  

Ditinjau dari dimensi temporal, performa beberapa tipologi ekosistem bukannya semakin baik, malah menukik kearah degrasi. Bahkan fakta menunjukkan bahwa hingga saat ini laju degradasi masih sangat tinggi (Anonymous, 2011).  

Mari kita melanglang buana ke Pulau Bangka yang banyak sekali kolong-kolong bekas tambang, terutama akibat tambang inkonvesional (TI) yang bertebaran di seantero Bangka.
 
Terbanglah dari Banjarbaru, Kalimantan Selatan, menuju Kotabaru, akan tampak mencolok kubangan-kubangan raksasa idle bekas pertambangan batu bara.

Bukankah rusaknya alam tersebut sebagai konsekuensi dari pembangunan yang berbasis eksploitasi sumber daya alam. Lalu sekiranya pembangunan tanpa merusak alam secara kaku (rigid) diaplikasikan, apakah harus menyetop tambang terbuka seperti ini?

Nah di sinilah urgensinya cakupan pengelolaan lingkungan hidup pada UU Nomor  32 Tahun 2009 yang merupakan kesatuan manajemen: a) perencanaan, b) pemanfaatan, c)  pengendalian, d) pemeliharaan, e)  pengawasan, dan  f) penegakan hukum.

Undang-Undang No. 32/2009 tidak menegasikan aspek pemanfaatan.  Silakan sumber daya alam tersebut digali dan dimanfaatkan demi kemashlahatan bangsa.  Namun, harus mengindahkan aspek pengendalian dan pelestarian, agar pencadangan sumber daya alam tak begitu saja tergerus.  Tidak mudah memang mengkombinasikan dan menyinergikan eksploitasi dan pelestarian!

Kebijakan pengelolaan menuntut dikembangkannya sistem pengelolaan yang meliputi kemantapan kelembagaan, sumber daya manusia dan kemitraan lingkungan, perundangan dan perangkat hukum, informasi, serta pendanaan (Hatta, 2011).

Wadah Perencanaan

Ada unsur perencanaan terhadap pemanfaatan sumber daya alam.  Aspek perencanaan ini diwadahi dalam UU No. 32/2009 berupa inventarisasi lingkungan hidup (Pasal 6), Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) (Pasal 9 dan 10), Ekoregion (Pasal 7 dan 8), dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) (Pasal 18).  

Ketentuan-ketentuan ini dimanifestasikan dalam satuan wilayah administrasi seperti kabupaten/kota, provinsi, atau pusat.  

Pada perencanaan ini ditentukan zona wilayah untuk eksploitasi dan peruntukan lainnya, hingga terpelihara suatu ruang habitat yang memungkinkan roda ekosistem berfungsi dengan baik.  

Bermuara pada terselenggaranya homeostasi (kemantapan ekologis) dan resiliensi (kelentingan ekologis) secara alamiah, tanpa terusik oleh eksternalitas berlebihan yang merupakan wujud dari ketamakan manusia (greedy) yang memonopoli alam (anthroposentris) dan mendahulukan hasrat kebendaan (hedonisme) (Cork, 2010; Doppelt, 2008).

Dengan adanya perencanaan yang baik, niscaya daya dukung, daya tampung, dan kapasitas asimilasi alam masih akan terpenuhi (Pasal 12).  Unsur ekologis, baik biotik maupun abiotik, akan melakoni perannya dalam rangkaian sistem ekologis secara nyaman dan paripurna.

Pada cakupan rencana suatu kegiatan usaha atau industri, ketentuan yang berkategori perencanaan ini adalah amdal (Pasal 33), UKL-UPL, dan SPPL (Pasal 35), serta izin lingkungan (Pasal 41), yang pada intinya mengkaji kelayakan lingkungan suatu kegiatan usaha.

Peraturan yang aplikasinya diterapkan dalam ranah perencanaan dan pengambilan keputusan demikian, termasuk kategori kelompok preemtif.  

Preventif

Kelompok ketentuan yang diaplikasikan manakala suatu kegiatan usaha telah berjalan dan bersifat wajib ditaati meliputi ketentuan baku mutu lingkungan (Pasal 20), kriteria baku kerusakan lingkungan (Pasal 21), analisis risiko lingkungan (risk assessment) Pasal 47, prinsip pencemar membayar (polluter must pay principle), audit lingkungan (Pasal 48-51).  Saat ini kita punya baku mutu kualitas air (effluent dan ambien) serta baku mutu kualitas udara (emisi dan ambien).

Pentaatan (complience) terhadap baku mutu ini dapat dinilai melalui pelaporan rutin yang dilakukan oleh suatu kegiatan usaha/industri yang merupakan implementasi dari dokumen RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan) dan RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan).

Pelaporan RPL tersebut setidaknya harus mengelaborasi kecenderungan, titik kritis, dan tingkat pentaatan dari suatu parameter kualitas lingkungan yang dipantau pada setiap periode waktu tertentu.

Ketentuan lainnya yang baru diintroduksi dalam UU 32/2009 (Pasal 42 dan 43) adalah instrumen ekonomi dalam pengelolaan lingkungan.  Instrumen ekonomi ini bisa berupa insentif perpajakan bagi perusahaan yang secara konsisten taat terhadap pengelolaan lingkungan, keringanan bea masuk barang yang didedikasikan bagi pengelolaan lingkungan, valuasi sumber daya alam, kompensasi terhadap jasa dan fungsi lingkungan, dsb.
 
Proaktif

Perangkat pengelolaan lingkungan yang proaktif terkadang lebih diminati dan lebih kuat nuansanya untuk diikuti oleh para pelaku bisnis, kenapa? Karena instrumen ini lahir dari pasar (market driven) yang bersumber dari kecenderungan konsumen yang makin sadar akan urgensi pelestarian lingkungan.

Tendensi pasar inilah yang dengan cerdik diterjemahkan oleh pakar lingkungan yang diejawantahkan dalam formulasi standarisasi pentaatan lingkungan ketika suatu kegiatan usaha sudah beroperasi dan terus berupaya untuk meningkatkan produksinya secara sinambung.  

Dari sini lahirkan ISO 14000, ekolabel, produksi bersih, sertifikasi pertanian organik, HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points) untuk bidang pangan, HCV (High Concentration Value) untuk RSPO, dsb. yang masuk dalam kategori ketentuan proaktif dan voluntary.

Instrumen-instrumen tersebut sangat berpengaruh di tataran pasar global sehingga terkadang mampu berperan sebagai penghela utama (prime mover) dalam pengelolaan lingkungan sebagai suplemen dari ketentuan pengelolaan lingkungan yang sifatnya wajib (mandatory),  seperti amdal ataupun UKL-UPL (Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan) dan baku mutu lingkungan.

Hierarki Pengelolaan

Adanya ketentuan yang berkategori preemtif, preventif, dan proaktif seyogianya dapat menjadi pemandu kita dalam menyinergikan aspek pemanfaatan dan pelestarian lingkungan, yang hierarkinya bermuasal dari perencanaan, pelaksanaan, dan tingkatan produksi dari suatu kegiatan usaha.  

Bagaimanapun juga dalam pembangunan, khususnya yang berbasis sumber daya alam, tak dipungkiri pasti akan mengusik atau menggangu lingkungan.  

Kendati demikian, hierarki yang harus ditempuh dalam pengelolaan lingkungan harus mengutamakan penghindaran (avoidance) kemungkinan degradasi lingkungan, lalu diikuti minimalisasi, dan prioritas terakhir adalah rehabilitasi atau mitigasi.

*Penulis Buku "Senarai Bijak Terhadap Alam"

Oleh Hefni Effendi*
Editor: D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2011