Bogor, (ANTARA News) - Tumbuhan jarak pagar ((Jatropha curcas Linn) yang menjadi bahan baku biodiesel, merupakan bahan bakar berbasis minyak nabati, dari sisi lingkungan mempunyai sifat yang ramah lingkungan. "Jika dibandingkan dengan bahan bakar solar, biodiesel bersifat lebih ramah lingkungan, dapat diperbaharui, dapat terurai, memiliki sifat pelumasan terhadap piston mesin, mampu mengeliminasi efek rumah kaca dan kesinambungan ketersediaan bahan bakunya terjamin," demikian dikemukakan Dr Ir Erliza Hambali, Direktur Surfactan and Bioenergy Research Center (SBRC) atau Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (LPPM IPB) di Bogor, Senin (27/2). Hal itu disampaikan dalam diskusi kecil dengan para wartawan berkaitan dengan prospek biodiesel di masa depan, khususnya terkait dengan persoalan krisis energi di masa depan. Ia menjelaskan, biodiesel yang memiliki sifat menyerupai minyak solar dapat digunakan baik secara murni maupun dicampur dengan petrodiesel, tanpa menyebabkan terjadinya perubahan yang berarti pada mesin kendaraan yang ada. Dikemukakannya pula bahwa saat ini biodiesel merupakan salah satu solusi ketersediaan bahan bakar yang dibutuhkan masyarakat. Pasalnya, jumlah penduduk Indonesia yang makin meningkat berkorelasi pada kebutuhan bahan bakar untuk rumah tangga, sarana transportasi dan aktivitas industri yang makin meningkat pula. Ia mengatakan, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, umlah konsumsi BBM (bahan bakar minyak) Indonesia lebih tinggi dibandingkan jumlah produksinya. Bahkan, kata dia, dari data Automotive Diesel Oil menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 10-15 tahun ke depan diprediksi cadangan minyak Indonesia akan habis. "Mau tidak mau, diperlukan solusi dan langkah nyata mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap BBM berbasis fosil," katanya. Ditambahkannya bahwa upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan bahan bakar alternatif terbarukan berbasis sumberdaya alam nabati Indonesia, dan dengan berkembangnya bahan bakar berbasis minyak nabati di Indonesia, berarti masyarakat memiliki pilihan alternatif bahan bakar jenis apa yang akan mereka gunakan. Menurut dia, pemerintah Indonesia pun telah mengantisipasi kebutuhan masyarakat akan bahan bakar alternatif terbarukan, dimana wujud dukungan pemerintah terhadap upaya pengembangan bahan bakar alternatif terbarukan tersebut adalah dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 1/2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) sebagai bahan bakar lain. Budidaya komersial Erliza Hambali mengatakan, tumbuhan jarak pagar saat ini tidak lagi menjadi sekadar tanaman pembatas pekarangan, namun sudah mulai dibudidayakan untuk tujuan komersial. Ia merujuk pada sejumlah perusahaan, baik perusahaan swasta maupun BUMN di Indonesia, yang telah mulai membudidayakan jarak pagar dengan areal penanaman bervariasi mulai dari 100 hektar hingga 20.000 hektar. "Respon positif oleh masyarakat umum terhadap jarak pagar ini, setelah berkembangnya informasi dan pengetahuan yang menunjukkan bahwa minyak jarak pagar sangat prospektif untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel," katanya. Hal yang menguntungkan dalam budidaya tumbuhan jarak pagar, kata dia, karena menanamnya sangat mudah, karena merupakan tanaman tahunan yang tahan atas iklim kering. Disamping itu, juga mampu tumbuh dengan cepat dan kuat di lahan yang beriklim panas, tandus dan berbatu. Sejumlah daerah dengan kondisi lahan kritis yang cocok ditanamai jarak pagar diantaranya adalah Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Barat, Jawa, Bali, NTB, NTT, Papua dan Sulawesi. "Untuk (penanaman) skala besar, wilayah yang sesuai untuk tempat pengembangan jarak pagar adalah di wilayah Indonesia Timur, terutama NTB, NTT, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku dan Papua," katanya. Menurut dia, jika dipelihara dengan baik, jarak pagar dapat hidup lebih dari 20 tahun. Produktivitas tanaman jarak berkisar antara 3-4 kilogram biji per pohon per tahun, dan produksi akan stabil setelah tanaman berumur lebih dari lima tahun. Dengan tingkat populasi tanaman 2.500 pohon per hektar, maka tingkat produktivitas antara 5-10 ton biji per hektar, sedangkan bila rendemen minyak sebesar 35 persen, maka setiap hektar lahan dapat diperoleh 2 - 3,5 ton minyak per-hektar per-tahun. "Jadi, dengan kondisi tersebut masyarakat Indonesia tak lagi tergantung pada BBM berbasis miyak bumi, serta akan semakin hemat karena tidak lagi harus mengimpor BBM," katanya dan menambahkan bahwa saat ini devisa negara setiap harinya terkuras sekitar Rp200 miliar untuk mengimpor 300.000 barel BBM.(*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006