Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengingatkan industri media tidak kehilangan idealisme untuk memberikan harapan dan menciptakan optimisme masyarakat. Bukan malah sebaliknya, melulu menceritakan keburukan seolah-olah negeri ini tidak ada kebaikan dan prestasinya sama sekali.

"Banyak prestasi pemerintah pada tahun 2011 tidak diberitakan dan diceritakan oleh media. Sebaliknya, kritikan dan kekurangan pemerintah diangkat secara berlebihan. Pada tahun 2012, semoga media lebih fair dan berimbang," kata Dipo di Jakarta, Sabtu, saat ditanya evaluasinya terhadap hubungan media dan pemerintah selama 2011.

Sejumlah penghargaan dan pengakuan kepada pemerintah pada tahun 2011, antara lain penghargaan PBB kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam mitigasi bencana, berbagai macam peringkat yang diberikan berbagai lembaga ekonomi dunia terhadap perkembangan ekonomi, iklim investasi, dan indeks kebebasan informasi yang terbaik di ASEAN.

Pada tanggal 15 Desember 2011, Indonesia meraih investment grade dari Fitch sebagai negara yang iklim investasinya baik setelah berturut-turut mendapat peringkat dari Standard & Poors, Moody, dan R&I.

Pers juga dinilai tidak begitu mengulas prestasi bahwa untuk kali pertama dalam sejarah Indonesia, cadangan devisa negara melebihi 100 miliar dolar AS. Kebebasan pers Indonesia indeksnya nomor 1 di ASEAN, demokrasi indeksnya nomor 2 di ASEAN, dan rating hak atas informasi di dunia nomor 20, lebih tinggi dari Inggris (27), AS (36), dan Australia (38).

Menurut Dipo Alam, pemerintah tidak tabu dikritik asal fakta dan datanya benar. Malah pemerintah berterima kasih telah diingatkan pers mengenai kekurangan di sana-sini. "Tapi keberhasilan pemerintah dan pencapaiannya diberitakan juga dong," kata Dipo menegaskan.

Hal itu, kata Dipo, agar masyarakat tahu duduk perkaranya. Ada kinerja pemerintah yang berhasil, ada yang belum berhasil dan tengah berusaha untuk mengatasinya.

"Kami tidak meminta bulan kepada pers. Kami hanya menuntut pers melaksanakan kredonya, yaitu mengabdi kepada kebenaran. Beritakan yang benar itu benar, yang salah itu salah, sesuai dengan etika yang berlaku di kalangan pers sendiri," ujarnya.

"Jika kinerja pemerintah nilainya 6," lanjut Dipo,"tulislah 6. Kalau ditulis 4, zalim namanya karena mengurangi. Kalau ditulis 8, juga tidak benar karena itu membesar-besarkan atau mendramatisir. Apalagi kalau pemerintah sudah bekerja keras diberitakan gagal atau melakukan pembiaran."

Ucapkan terima kasih

Dipo Alam mengucapkan selamat Natal dan Tahun Baru serta terima kasih kepada media yang selama ini telah mengkritik dan mengingatkan pemerintah.

Namun, sebagai anak bangsa, Dipo juga ingin mengkritik dan mengingatkan pers supaya lebih baik pada tahun 2012. Misalnya saja, Dipo menyebut kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Nusa Tenggara Timur pada Hari Pers Nasional bulan Februari 2011. Dalam kasus ini, Dipo menilai pers tidak akurat dalam merepresentasikan fakta.

"Hanya karena ada beberapa orang saja yang berdemo, ada media dan televisi yang memberitakan 'Masyarakat NTT Tolak Kedatangan SBY'. Padahal, saya yang ikut mendampingi SBY, merasakan betapa masyarakat NTT sangat senang dan mengelu-elukan presidennya," katanya.

Dipo juga mengingatkan agar pers tidak kehilangan idealismenya meskipun sudah menjadi industri. Jangan menjadikan pasar dan rating sebagai berhala pers karena ada kewajiban media untuk ikut serta memperbaiki kehidupan publik dan demokrasi.

"Jangan sampai medianya kaya, tapi sistem demokrasinya miskin," kata Dipo mengutip buku pakar komunikasi McChesney "Rich Media, Poor Democracy".

Sebaliknya, Dipo juga tidak ingin demokrasinya berkembang, tetapi industri medianya miskin. "Yang ideal adalah 'rich media, rich democracy', yaitu medianya kaya, demokrasinya sehat," demikian Dipo Alam yang mengaku lebih mendalami persoalan media semenjak digugat ke pengadilan oleh Media Group. (A017/Z002)

Editor: D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2011