Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) Ginandjar Kartasasmita setuju jika pemerintah melakukan negosiasi ulang Kontrak Karya (KK) dengan PT Freeport dan ia bersedia untuk membantunya. "Saya sependapat kalau memang memungkinkan untuk dilakukan negosiasi ulang soal Kontrak Karya PT Freeport dan tentu saya akan membantu," kata Ginandjar ketika ditanya soal KK PT Freeport di Gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Senayan, Jakarta, Kamis. Menurut Ginandjar yang kini Ketua DPD, kalau dengan negosiasi ulang pemerintah Indonesia akan mendapatkan hasil yang lebih baik tentu akan menguntungkan masyarakat dan bangsa. "Saya tidak menolak bahwa dulu begini atau begitu. Namun supaya tidak timbul masalah di dunia internasional dan timbul ketidakpercayaan investasi, maka sebaiknya perubahan Kontrak Karya itu didasarkan pada undang-undang," katanya. Dalam pandangan Ginandjar, apabila dilakukan negosiasi ulang soal KK PT Freeport, kemungkinan ada hal-hal yang pada saat ini bisa dipenuhi karena situasi dan kondisi yang lebih memungkinkan dibanding 15 tahun lalu. Sementara ketika ditanyakan soal perbaikan KK PT Freeport yang dilakukan 15 tahun lalu, yakni saat ia menjabat Mentambem 1989, Ginandjar menegaskan bahwa saat itu dilakukan untuk memperbaiki KK I pada tahun 1967/1968. Pada KK I tahun 67/68, tambah Ginandjar, tidak diatur masalah keamanan lingkungan dan sebagainya. Makanya kemudian dilakukan perbaikan. "Kalau tidak ada perbaikan 15 tahun lalu, maka KK yang berlaku sampai sekarang KK tahun 67/68 tersebut," katanya. Ia mengakui saat ini sedang mempersiapkan beberapa hal untuk memberikan penjelasan soal perbaikan KK tersebut kepada DPR. "Tanpa dipanggil pun saya akan berikan penjelasan. Masalah Freeport ini saya akan jelaskan apa yang saya ketahui," katanya. Sementara anggota DPD dari Papua, Max Demetauw, mengatakan bahwa masalah tuntutan masyarakat adat sekitar pertambangan PTB Freeport saat ini sudah diakomodasi oleh DPRP dan Majelis Permusyawaratan Papua (MRP). "Nanti pada 20 Maret ini baru akan diputuskan. Bisa saja keputusannya itu berupa negosiasi ulang atau juga masalah pembagian pusat dan daerah sesuai UU no 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus," kata Max. Yang jelas, tambah Max, negosiasi ulang ataupun pengaturan ulang perlu dilakukan karena selama ini belum transparan. "Peninjauan ulang itu perlu karena kita mau transparan," kata Max. Sementara soal tuntutan masyarakat adat sekitar pertambangan yang menuntut dana kompensasi sebesar 7 persen dari hasil bersih, hal itu didasarkan keinginan masyarakat adat setempat. Selama ini, tambah Max, masyarakat seiktar telah mendapatkan dana kompensasi sebesar satu persen. "Kompensasi sebesar satu persen dalam bentuk dana cash itupun setelah kita melakukan tuntutan ke Pengadilan di Amerika," kata MaX. Sekarang, kata Max, ada desakan agar dana kompensasi dinaikan menjadi tujuh persen karena disekitar pertambangan ada tujuh masyarakat adat besar. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006