Duri, Riau, (ANTARA News) - Upaya untuk menyelamatkan gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Riau dapat dilakukan apabila pemerintah setempat menghentikan konversi hutan dan tidak mengeluarkan lagi izin untuk perluasan areal perkebunan atau izin di bidang industri kayu. "Tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan gajah Sumatera di Riau selain menghentikan konversi hutan. Kondisi gajah kini sangat kritis karena tidak lagi memiliki habitat," kata Koordinator Program Gajah Riau World Wide Fund for Nature (WWF) Nurcholis Fadli kepada ANTARA di Pekanbaru, Kamis (2/3). Habitat gajah yang dimaksudnya berupa hutan alam yang menjadi tempat tinggal hewan berbelalai ini yang kondisinya kini telah punah akibat izin konversi hutan yang mengubah hutan alam menjadi hutan produksi terbatas untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Izin Pemanfaatan Kayu, areal perkebunan tanaman sejenis baik Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun perkebunan sawit dan pemukiman penduduk. Ia mengatakan, konflik manusia-gajah di Riau tiap tahun terus meningkat dan tidak berkesudahan karena tidak ada penyelesaian yang tepat untuk meredam konflik. Nurcholis membantah gangguan gajah dapat dibasmi dengan cara menangkap dan merelokasikan mereka ke tempat lain, sebab cara tersebut selain memakan anggaran yang sangat besar juga menciptakan konflik baru di lokasi baru. Upaya pengusiran juga tidak efektif, karena hewan liar yang dilindungi undang-undang ini biasanya setelah diusir dari perkampungan masuk lagi karena tidak adanya bahan makan di kawasan hutan tempat mereka diusir. "Lagipula, `home range` (daerah jelajahnya) telah berubah menjadi kebun sawit dan perkampungan," ungkapnya. Itu sebabnya, jalan satu-satunya yang tersisa adalah sikap tegas pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk tidak lagi mengeluarkan izin konversi lahan, agar habitat gajah yang tersisa dapat dimanfaatkan hewan langka itu sebagai tempat tinggalnya. Ia mencontohkan kasus mengamuknya puluhan ekor gajah di Kelurahan Balai Raja Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis yang saat ini masih terjadi. Telah 12 hari masyarakat yang bermukim disekitar komplek pemukiman PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) mengungsi dan ketakutan. Padahal, kawasan Balai Raja merupakan kawasan hutan Suaka Margasatwa, terutama kawasan yang berbatasan dengan konsesi CPI dan jalan lintas Pekanbaru-Dumai, seluas 18.000 hektare. Namun, kawasan suaka itu telah berubah jadi pemukiman dan perkebunan sawit. "Luas hutan yang tertinggal hanya seujung kuku," ujar Nurcholis seraya memperlihatkan peta satelit kawasan hutan suaka margasatwa Balai Raja yang hanya tinggal sekitar 200 hektare. Ia juga menyarankan agar pemerintah dalam hal ini Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau untuk mengambil kembali kawasan konservasi yang telah beralih fungsi, karena umumnya kawasan tersebut dijarah oleh masyarakat pendatang, seperti yang terjadi di Balai Raja. "Hilangnya kawasan konservasi karena dijarah dan keluarnya Surat Keterangan Tanah (SKT) ilegal. Lebih baik ditempuh jalur hukum saja untuk memulihkan kawasan hutan agar gajah dapat hidup tenang dan tidak menganggu masyarakat," katanya. Sementara itu, dari pantauan ANTARA di lokasi amuk gajah, di RT 01/RW03 Kelurahan Balai Raja, kawanan hewan berbadan besar itu hingga berita ini diturunkan masih bertahan di lokasi, sedangkan penduduk terutama anak-anak dan kaum perempuan mengungsi dan kaum lelaki tetap berada di lokasi mengusir gajah.(*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006