Jakarta (ANTARA) - Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa penemuan kasus hingga pencatatan dan pelaporan kasus penyakit Tuberkulosis (TBC) pada tahun 2022 masih mengalami sejumlah kendala.

“Kami masih menghadapi adanya tantangan terkait penemuan kasus TBC, ada missing cases, masih ada under report cases lalu ada kriteria yang menentukan terduga TBC yang masih cukup dipandang sulit dan lain-lain,” kata
Plt Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Tiffany Tiara Pakasi dalam Webinar Sosialisasi Pembentukan Forum Multi Sektor Penanggulangan TBC yang diikuti di Jakarta, Kamis.

Tiffany menuturkan pihaknya masih mengalami kendala di lapangan sehingga penemuan kasus TBC masih sulit untuk dilakukan.

Baca juga: Kemenkes terapkan program prioritas penanggulangan TBC

Kendala itu seperti pasien TBC yang sudah datang ke fasilitas kesehatan terkadang tidak dianggap mengidap TBC oleh tenaga kesehatan yang memeriksa sehingga pemeriksaan diagnostik tidak dilakukan.

Hal itu karena tenaga kesehatan masih terlalu mengandalkan skrining gejala untuk mengidentifikasi terduga TBC.

Terdapat pula masalah terkait ditemukannya kasus-kasus TBC ekstra paru yang diagnosisnya lebih kompleks.

Kemudian pada penanganan kasus TBC, masih ditemukan sejumlah pasien takut akan efek samping dari obat yang diberikan. Terdapat pula pasien yang tidak datang ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan dan pemantauan pengobatan.

Baca juga: Kemenkes terapkan strategi khusus penanganan TBC di tengah COVID-19

Selanjutnya pada pemberian Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT), keengganan pasien untuk meminum obat TPT menjadi salah satu kendala. Sebab, pasien merasa sudah sehat.

Lamanya masa pengobatan TPT juga membuat banyak pasien enggan mengikutinya karena harus menggunakan regimen 6H (selama enam bulan).

Para petugas di fasilitas kesehatan juga merasa kurang percaya diri dalam pemberian TPT akibat khawatir terjadi resisten obat pada pasien. Sosialisasi implementasi TPT hingga fasilitas kesehatan dan dukungan kader, komunitas terhadap TPT juga belum berjalan optimal.

Baca juga: Kemenkes buka program bantuan pendidikan untuk dokter spesialis

Sementara pada pencatatan dan pelaporan penyakit TBC, penggunaan Software Sistem Informasi TB (SITB) di level rumah sakit dan Dokter Praktik Mandiri (DPM) masih terbilang rendah. Beberapa tempat juga mengalami kesulitan mengakses SITB.

Bahkan, NIK SITB belum terintegrasi dengan database milik Dukcapil sehingga validasi data pasien TBC tidak dapat dilakukan. Proses integrasi dengan beberapa sistem seperti BPJS juga masih terhambat.

Apalagi dengan hadirnya COVID-19, sumber daya manusia di level fasilitas kesehatan untuk mencatat dan melaporkan kasus jadi lebih terbatas dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Baca juga: Kemenkes pasok sepuluh molekul obat untuk tingkatkan produksi domestik

Meskipun masih menghadapi beragam masalah, Tiffany mengatakan hadirnya Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 terkait Penanggulangan Tuberkulosis dapat memberikan arahan yang jelas untuk menyelesaikan dan menghadapi setiap masalah di lapangan.

Dengan demikian, kolaborasi multisektor baik dari pusat hingga ke jajaran pemerintah daerah dan masyarakat itu sendiri menjadi sangat penting guna meraih generasi emas pada tahun 2045.

“Kita harus bangkit, apalagi sudah ada Perpres Nomor 67. Sudah ada target-target, kalau secara garis besar dibagi menjadi strategi preventif, deteksi pengobatan dan juga perubahan perilaku. Tidak dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada saja, tapi juga burden dari TBC di wilayah masing-masing,” kata dia.

Baca juga: Kemenkes tidak temukan kasus frambusia di Kota Tangerang

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Agus Salim
COPYRIGHT © ANTARA 2022