Jakarta (ANTARA) - Yang satu baru saja menginjak usia 18 tahun sebulan lalu, satunya lagi baru hari empat lalu genap berusia 21 tahun.

Namun prestasi dua anak muda ini tak semuda umurnya, justru mereka bagaikan dua atlet yang sudah lama makan asam garam kompetisi.

Sabtu malam 6 Juni ini pukul 21.00 WIB ini kedua atlet muda itu bertemu dalam turnamen Grand Slam lapangan liat di Roland Garros di Paris, dalam French Open.

Si gadis Amerika Serikat usia yang baru saja meninggalkan status sweet seventeen memiliki nama Cori "Coco" Gauff, sedangkan si gadis Polandia penyuka musik heavy metal mempunyai nama Iga Natalia Swiatek.

Dua-duanya tengah memburu catatan bersejarah.

Baca juga: Iga Swiatek telan Daria Kasatkina untuk tapaki final French Open
Baca juga: Coco Gauff ke final French Open setelah gasak Trevisan


Gauff berusaha menjadi petenis paling muda Amerika Serikat yang menjuarai Grand Slam setelah Serena Williams mengangkat trofi US Open pada 1999.

Sedangkan Swiatek, di samping berusaha menjadi petenis pertama dalam kurun 15 tahun terakhir yang menjuarai French Open dua kali berturut-turut setelah Justine Henin melakukannya pada 2007, berusaha menyamai rekor Venus Williams tak terkalahkan dalam 35 pertandingan berturut-turut.

Tetapi apa pun hasil final tunggal putri French Open itu akan menjadi lembaran baru bagi perjalanan karir kedua petenis.

Dua petenis yang berselisih umur tiga tahun satu sama lain itu sudah dua kali bertemu sebelum ini dan keduanya dimenangkan Swiatek dengan straight sets.

Mereka membangun karir sejak masa junior dan pernah menggebrak dalam usia sangat muda, serta hampir saja bertemu dalam French Open junior empat tahun lalu.

Baca juga: Keren sekali jika bisa bertemu Ratu Elizabeth, kata Coco Gauff

Waktu itu Swiatek sudah menggenggam match point tapi justru akhirnya takluk kepada Caty McNally. Ironisnya Gauff yang saat itu berusia 14 tahun justru yang mengalahkan McNally dalam final junior French Open 2018 itu.

Manisnya, beberapa pekan kemudian Swiatek menutup luka disingkirkan McNally itu dengan menjuarai Wimbledon junior tahun yang sama.

Kurang dari dua tahun setelah sukses mereka pada tingkat junior Grand Slam itu, Gauff dan Swiatek menyita perhatian dunia tenis.

Gauff membuat kagum dunia tenis dalam debut seniornya pada Wimbledon 2019 ketika menumbangkan Venus Williams dalam perjalanan ke 16 besar.

Setahun kemudian Swiatek membuat kejutannya sendiri yang lebih hebat dari Gauff dengan menjuarai French Open edisi 2020 Roland Garros yang merupakan gelar Grand Slam pertamanya yang juga gelar Tour pertamanya.

Ketika sudah menyangkut memproyeksikan prospek masa depan kedua atlet, tak ada yang meragukan talenta dan etos kerja kedua petenis muda ini.

Mereka tidak mencapai levelnya saat ini karena keajaiban dan kebetulan. Justru kombinasi bakat, etos kerja dan pengalamanlah yang mengantarkan mereka ke tingkat yang saat ini mereka tapaki.

Mereka tak mau disebut atlet yang mengikuti jejak sukses atlet-atlet sebelumnya yang bahkan di antaranya mereka akui sebagai idola mereka. Bagi mereka, menjadi diri sendiri itu lebih penting.

"Penting sekali Anda punya harapan besar sendiri, namun pada saat yang sama juga penting menyadari berada dalam realitas dan saya kira di situlah saya berada. Saya berada dalam realitas di mana saya menikmati momen itu dan menikmati situasinya," kata Gauff seperti dikutip laman WTA Tennis.

Baca juga: Swiatek sibukkan otak dengan dengarkan Led Zeppelin dan Guns N' Roses


Semua harus klik

Gauff menolak disebut penerus untuk petenis besar sebelum dia karena rasa seperti ini membuatnya tertekan dan terlalu memaksa diri sehingga tak menikmati babak-babak menentukan dalam pertandingan tenis.

Dengan berpikir seperti itu dia merasa sebenarnya tak siap untuk memenangkan apa pun. Tapi itu dulu. Kini dia sudah menjadi Coco Gauff yang lain yang menikmati setiap level pertandingan yang dia mainkan, tak peduli itu babak pertama atau final.

"Kini berada di final, saya menikmatinya," kata Gauff.

Ternyata bukan cuma Gauff yang berusaha realistis. Iga Swiatek juga begitu.

Swiatek boleh saja bersinar lebih belakangan ketimbang Gauff, tetapi perjalanan selama dua tahun terakhir yang dilewati petenis berusia 21 tahun itu dalam mencapai final Grand Slam keduanya sungguh menakjubkan.

Ternyata, kuncinya pun karena dia berusaha mengelola ekspektasi-ekspektasinya, sekaligus menyikapi tantangan-tantangan.

Berbeda dengan Gauff yang optimistis, Swiatek memerlukan bimbingan tim yang di antaranya psikolog untuk menempa mental dan sikapnya, dalam hal menyingkirkan ketakutan, menepis keraguan dan memupus kecemasan.

Tapi dengan cara itu dia kini sukses berada di puncak tangga peringkat tenis putri dunia. Si nomor satu dunia bahkan terus-terusan menang dalam 34 pertandingan terakhir. Padahal setahun lalu Swiatek direpotkan oleh masalah konsistensi.

Baca juga: French Open: Iga Swiatek satu-satunya 10 besar yang masih bertahan

Untuk konsistensi ini pula petenis asal Polandia ini mengagumi konsisten Ashleigh Barty selama 2021 ketika petenis Australia yang sudah gantung raket itu menjuarai lima turnamen, termasuk Wimbledon.

"Semuanya harus klik. Grand Slam itu suasananya berbeda, kadang-kadang favorit tersingkir lebih awal. Jadi saya berusaha benar-benar menurunkan ekspektasi saya dan mencapainya selangkah-selangkah saja," kata Swiatek.

"Musim lalu pastinya saya melakukan banyak hal, namun saya masih mendapatkan pengalaman. Saat ini saya memanfaatkan pengalaman guna membuat semuanya lancar," sambung gadis Polandia ini.

Dia memiliki pola main yang unik yang bertumpu pada gerak lentur kedua kakinya, ditambah forehand bertenaga dan pukulan slice yang menjadi mimpi buruk untuk semua lawannya selama dua pekan di Roland Garros.

Rekornya dalam final juga mengesankan karena selalu menang dalam delapan final terakhir musim ini dengan hanya dua kali kehilangan lebih dari empat gim dan hanya kehilangan satu set. Dia begitu dominan termasuk saat membungkam Daria Kasatkina dalam semifinal.

Tapi situasi gelisah atau tidak, sering menjadi faktor penentu dalam final, dan Swiatek menghadapi masalah ini. Tetapi dia sudah bertekad mengatasi hal ini seperti dia lakukan pada partai-partai sebelumnya.

"Saya berusaha memperlakukan pertandingan final sama dengan pertandingan lain karena memang membuat tegang dan saya mengakuinya. Tapi saya ingin akan terus melakukan hal yang sama," kata Swiatek seperti dikutip Reuters.

Baca juga: Swiatek juarai Stuttgart Open 2022 usai libas Sabalenka

Sebaliknya Gauff sudah tumbuh menjadi petenis lapangan tanah liat yang solid. Dia akan masuk lapangan dengan perasaan tak dibebani tekanan apa pun, sekalipun ini adalah final Grand Slam pertamanya.

"Saya kira saya masuk gelanggang dengan perasaan nothing to lose," kata Gauff yang menyingkirkan Martina Trevisan dalam partai semifinal dan tak kehilangan satu set pun dalam perjalanan ke final French Open ini.

Tetapi dengan sikap seperti itu Gauff justru difavoritkan menang oleh mantan ratu tenis Chris Evert yang 18 kali juara Grand Slam dan kini komentator tenis Eurosport.

"Satu-satunya petenis yang bisa mengalahkan Swiatek adalah petenis yang memiliki banyak variasi pukulan dan servis bertenaga. Coco Gauff adalah satu-satunya petenis sejenis itu yang sungguh bisa mengalahkan Iga," kata Evert seperti dikutip Reuters.

Apakah Christ Evert yang benar atau Swiatek yang sukses dalam upayanya menjaga konsistensi di Lapangan Philippe-Chatrier di Stade Roland Garros malam Minggu nanti?

Baca juga: Nadal ke final French Open setelah Zverev mundur lantaran cedera
Baca juga: Ruud jadi petenis Norwegia pertama ke final Grand Slam

 

Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Bayu Kuncahyo
COPYRIGHT © ANTARA 2022