Jakarta, (ANTARA News) - Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) dan World Wide Fund for Nature (WWF) sepakat untuk memberlakukan Protokol Mitigasi Konflik Gajah sebagai upaya pemecahan masalah konflik antara gajah dan manusia yang akhir-akhir ini marak terjadi di Provinsi Riau. "Protokol mitigasi konflik gajah ini penting untuk segera diimplementasikan sebagai upaya penyelesaian kasus yang semakin mendesak," kata Direktur Konservasi Keragaman Hayati Ditjen PHKA, Adi Susmianto, di Jakarta, Senin (6/3). Protokol Mitigasi Konflik Gajah, kata dia, telah lama dipersiapkan di Riau. Menurut Adi, protokol tersebut mencakup strategi pengurangan konflik, penanganan insiden-insiden yang mencelakai gajah, dan pengembangan mekanisme kompensasi bagi masyarakat yang mengalami kerugian akibat gangguan gajah pada kondisi tertentu. "Dengan segera diimplementasikannya protokol ini diharapkan kasus-kasus konflik antara manusia dan gajah dapat diminimalisir, kematian manusia dan gajah dapat dihindarkan, termasuk kerugian materi yang diakibatkan oleh konflik," katanya. Dalam dua pekan terakhir, sedikitnya dua insiden konflik gajah terjadi di Riau, yaitu matinya enam ekor gajah di sebuah kebun sawit yang terletak di bekas hutan Mahato di perbatasan Riau dan Sumatera Utara yang diduga akibat diracun serta mengamuknya 17 ekor gajah ke perkampungan penduduk di desa Balai Raja, Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau. Kedua kasus itu ditengarai terjadi akibat dibukanya hutan blok Libo, yang merupakan salah satu habitat penting gajah Sumatra, menjadi pemukiman, perkebunan dan HTI. "Semua konversi hutan alam harus segera dihentikan," kata Adi. Hal itu karena rumah bagi satwa dilindungi itu semakin menyusut. Dalam tujuh tahun terakhir saja, populasi gajah sumatera telah berkurang dari 700 ekor menjadi 350 ekor saja. "Laju pengurangan hutan alam di Riau akibat konversi, baik karena pembalakan kayu, maupun perubahan peruntukan lahan menjadi perkebunan dan pemukiman, telah mengancam habitat penting bagi satwa dilindungi seperti gajah dan harimau Sumatera," katanya. Pernyataan senada diungkapkan oleh Direktur Program Species WWF-Indonesia Nazir Foead. "Konversi hutan adalah akar dari permasalahan konflik manusia dan satwa yang terjadi, baik konflik akibat gajah yang merusak ke kebun dan rumah warga, maupun harimau menyerang ternak dan manusia," katanya. Rusaknya hutan Balai Raja, lokasi dimana konflik gajah terjadi baru-baru ini, kata dia, adalah sebuah contoh nyata. "Tutupan hutan Balai Raja telah berkurang secara dramatis, dari sekitar 16.000 hektar pada 1986 ketika ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa menjadi 260 hektar saja pada 2005," katanya. Menurut WWF Indonesia`s Species Program Communications Officer Desmarita Murni, saat ini, anggota tim penanganan gangguan gajah secara cepat (flying squad) BKSDA dan WWF bekerjasama dengan 300 orang anggota keamanan PT. CPI/Caltex, perusahaan yang memiliki konsesi di dekat lokasi tersebut, saat ini terus melakukan penjagaan agar 17 ekor gajah liar yang beberapa waktu lalu masuk ke perkampungan tidak lagi mendekati perumahan dan perkebunan penduduk. Gajah-gajah tersebut, kata dia, rencananya sedikit demi sedikit akan digiring menuju hutan yang masih tersisa di blok Libo, dan upaya tersebut akan membutuhkan dukungan operasi pengamanan yang lebih besar, diantaranya melibatkan pihak militer setempat. Kemungkinan tersebut menurut Adi, akan didiskusikan dalam pertemuan antara WWF, BKSDA, dan perwakilan PT Caltex besok (7/3). "Kami akan menghubungi perwakilan militer setempat, berikut pemilik perkebunan terkait, untuk menjajaki kemungkinan partisipasi mereka dalam operasi pengamanan gajah berskala besar seperti ini," kata Adi. "Meskipun demikian, operasi pengamanan ini bukanlah solusi permanen. Konversi hutan dan pembalakan liar di blok hutan Libo harus segera dihentikan, agar selain habitatnya terjaga dan dapat hidup nyaman, gajah-gajah ini tidak lagi keluar dan mengamuk ke perkebunan dan rumah penduduk," kata Nazir. Salah satu aksi cepat yang dilakukan untuk mengatasi konflik yang sedang terjadi di Balai Raja, PHKA dan WWF sepakat untuk menambah tim flying squad yang bertugas berpatroli dan memberikan pertolongan pertama dan rasa aman bagi masyarakat di area konflik tersebut. Teknik flying squad ini telah diujicobakan oleh WWF dan Balai KSDA Riau di zona penyangga Taman Nasional Tesso Nilo. "Flying squad adalah tim patroli yang terdiri dari delapan pawang yang dilengkapi berbagai perlengkapan beserta empat gajah latih yang bertugas mengusir gajah liar kembali ke hutan," kata Nazir. Teknik ini terbukti efektif mengurangi kerugian masyarakat. Sejak dioperasikan April 2004, Flying Squad terbukti mampu mengurangi kerugian materi akibat konflik gajah hingga 16 kali lebih rendah dari sebelum dioperasikan (dari rata-rata Rp 16 juta per bulan menjadi kurang dari Rp 1 juta per bulan). "Sejak adanya flying squad, untuk pertama kalinya kami bisa tidur nyenyak pada malam hari," kata Salim, petani kelapa sawit dan padi ladang di desa Lubuk Kembang Bunga yang biasanya harus bergadang menjaga kebun dan ladangnya setiap malam.(*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006