Jakarta (ANTARA News) - Mengawali tahun dengan "rencana bencana" yang digulirkan oleh Pemerintah berupa kebijakan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) merupakan kado tahun baru yang sama sekali tak membuat rakyat bertepuk tangan dengan penuh sukacita.

Sebaliknya, rakyat makin merasa bahwa gaung kekecewaan di mana-mana dengan sebutan "negeri auto pilot" adalah benar adanya.

Dalam buku "The Quality of Government" karangan Bo Rothstein, terbitan tahun 2011, secara jelas memerinci bagaimana sebuah pemerintahan seharusnya berbuat. Manfaat apa yang diperoleh masyarakat menjadi cermin kualitas suatu pemerintahan. Sebaliknya, jika masyarakat tak merasakan manfaat apa pun, bisakah mengurai jawaban atas pertanyaan:: "Does quality of government translate into quality of life?"

Kebijakan merupakan salah satu outcome kualitas sebuah pemerintahan. Lalu bagaimana dengan kebijakan pembatasan BBM yang secara "paksa" akan diberlakukan oleh Pemerintah per 1 april 2012?

Secara nyata juga Rothstein menyatakan bahwa negara berkembang sewajarnya akan menghabiskan waktu untuk menghasilkan judicial systems. Di sini legal system harus bisa berjalan baik sebagai fondasi percepatan pertumbuhan ekonominya.

Mari kita bedah faktor-faktor dalam proses pembuatan sistem kebijakan, apakah sudah demikian tepat sehingga outcome-nya adalah sebuah "keharusan" yang tanpa manfaat?

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN Tahun 2012 pada Pasal 7 Ayat (6) yang berbunyi harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan. Ini menjadi "penjebak" pemerintah yang seolah "alergi" menaikkan harga BBM.

Pasal dalam UU itu juga tidak pernah dibahas apalagi disetujui Komisi VII DPR RI.  Di sisi lain, maksud "pengendalian" yang dijabarkan dalam UU tersebut ditangkap sebagai seolah-olah "single solution", yaitu pembatasan BBM bersubsidi.

Landasan hukum lain yang digunakan oleh Pemerintah juga tak sinkron, hanya merujuk pada Perpres No. 55 Tahun 2005 jo Perpres No. 9 Tahun 2006. Lucunya seolah tak sadar bahwa landasan hukumnya juga "cacat" karena jika pemerintah memaksakan rakyat beralih dari BBM bersubsidi ke pertamax dan melepas fluktuasi harga sesuai dengan harga pasar, Pemerintah sudah melanggar keputusan MK.

Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan Pasal 28 Ayat (2) UU Migas soal pelepasan harga minyak dan gas bumi untuk mengikuti harga pasar. Jelas, ini melanggar hak asasi rakyat.

Pemerintah harusnya sadar bahwa kebijakan harus menyeluruh. Jangan biarkan rakyat mencari sendiri solusi atas masalah publik.

Mark Moore dalam buku "Public Value" menjelaskan bahwa public policy is not simple what the majority wants, but to guarantee that each people will achieve their interest. Pemerintah harus juga memberikan alternatif untuk memenuhi unsur public interest.

Kebijakan energi bukan melulu persoalan energi, melainkan juga meliputi persoalan industri, transportasi, pertahanan dan lain lain. Persoalan energi tidak hanya kebijakan saja, tetapi juga persoalan manajemen sektor publik dan juga budaya.

Tiga hal mendasar dalam proses pembuatan kebijakan tentunya harus merujuk pada:
1. public support, yaitu legitimasi dan akseptansi masyarakat,
2. public value, yaitu berupa nilai tambah dan benefit untuk masyarakat dan menjamin setiap warga negara terpenuhi hak-hak konstitusionalnya,
3. capacity to implement, kebijakan harus bisa dilaksanakan tanpa menimbulkan masalah baru pada publik.

Dalam hal pembatasan BBM, harus dipahami bahwa birokrasi sektor publik pun sudah saatnya direformasi karena sudah sangat kritis, plus fasilitas publik hingga sistem manajemen sektor publik sangat tidak kompeten dan tidak moral hazard. Leading sektor publik ini harus segera dilakukan reformasi.

Langkah Pemerintah saat ini dalam upaya mengatasi bengkaknya beban pemerintah seharusnya mulai diatasi dengan beberapa cara, di antaranya mengatur secepatnya pos-pos penting penerimaan negara dari sektor pajak dan memaksimalkan sumber penting dari migas dan pertambangan yang selama ini tidak maksimal. Dan, kebocoran di sektor ini hingga detik ini masih terus terjadi. Kearifan dan transparansi pemerintah dalam hal ini dipertaruhkan. Berantas segala bentuk "bad governance".

Penghematan belanja negara harus dilaksanakan, terutama pengeluaran belanja pegawai harus dipangkas, dihemat dengan cara melakukan perampingan di semua sektor. Reformasi birokrasi yang telah digaungkan harus diiringi dengan kebijakan penghematan dan efisiensi, termasuk pemberlakuan e-procurement.

Selain itu, perlunya kajian alternatif solusi berupa kenaikan pajak kendaraan ber-cc besar. Daripada pembatasan BBM, lebih baik menaikkan pajak kendaraan, hasil penerimaan di-posting sebagai pengganti pengeluaran subsidi.

Cara lain, menaikkan harga BBM bersubsidi antara Rp500,00 dan Rp1.000,00. Dan, melakukan judicial review terhadap UU No. 22/2011 tentang APBN Tahun 2012, khususnya pada Pasal 7 Ayat (6) untuk memayungi kebijakan itu.

Segera dilakukan kajian dan riset mendalam dari berbagai aspek agar proses pembuatan kebijakan publik tersebut mengandung kaidah-kaidah yang seharusnya ada dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah.

Penindasan hak-hak konstitusional rakyat tidak boleh terjadi jika pemerintah ingin dianggap keberadaannya membawa manfaat bagi rakyatnya. Kembali lagi ke pertanyaan: "What is quality of government?"

Mari kita renungkan dan selesaikan semua persoalan bangsa dengan lebih mengedepankan kepentingan masyarakat dan menjunjung tinggi hak asasi rakyat dan hak-hak konstitusionalnya.

* Kandidat Doktor Kebijakan Energi, Universitas Indonesia; anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan

Oleh Dewi Aryani
Editor: D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2012