Jakarta (ANTARA News) - Seminar yang digelar sebuah harian ekonomi nasional dengan tema "Pasca Investment Grade: What Next?" pada Rabu (18/1) di Jakarta, tanpa disangka-sangka sepertinya `nyambung` dengan keputusan yang dikeluarkan Moody`s lembaga rating internasional pada siang harinya.

Moody`s Investor Service dari kantornya di Singapura mengabarkan telah menaikkan peringkat utang pemerintah Indonesia baik pinjaman dalam dan luar negeri dari Ba1 menjadi Baa3 dengan "outlook" stabil yang artinya masuk dalam tingkat layak investasi atau investment grade.

Dalam siaran pers yang dikutip dari situs laman Moody`s disebutkan bahwa kenaikan peringkat Indonesia ditetapkan mengingat peringkat keuangan pemerintah Indonesia yang masih sejalan dengan negara-negara di peringkat Baa.

Moody`s menilai bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan ketahanan terhadap krisis ekonomi global, kebijakan pemerintah yang dapat mengatasi kerentanan finansial, serta sistem perbankan yang lebih kuat menghadapi tekanan.

Kekuatan perekonomian Indonesia di tengah krisis keuangan eksternal dilihat dari kemampuan untuk melakukan investasi, peningkatan rencana pembangunan infrastruktur serta sistem keuangan dikelola dengan baik.

Pertumbuhan ekonomi tersebut juga diikuti dengan kemampuan pembayaran utang eksternal, peningkatan investasi langsung (FDI) dan perkiraan tingkat inflasi yang semakin stabil dan rendah.

Dengan keputusan Moody`s ini, Indonesia berarti sudah mendapatkan dua peringkat layak investasi dari Moody`s dan Fitch yang pada Desember lalu menaikkan rating Indonesia dari BB+ ke BBB-.

Masih ada satu lembaga pemeringkat internasional yaitu Standard and Poors (S&P) yang belum meningkatkan peringkat Indonesia ke `investment grade`, meski diyakini rating itu akan segera didapat Indonesia pada tahun ini.


Bukan Tujuan Akhir

Dalam kesempatan seminar di atas, Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution memaparkan bahwa meningkatnya rating Indonesia menjadi "investment grade" bukanlah keberhasilan yang diraih secara tiba-tiba, tetapi setelah menapaki perjalanan yang panjang.

Pada masa krisis tahun 1998 rating Indonesia anjlok tajam 6 notch hanya dalam kurang dari setahun yaitu dari BBB- menjadi B- dan berdampak pada merosotnya kepercayaan investor terhadap perekonomian domestik, sehingga terjadi gelombang penarikan modal dan terhentinya arus modal masuk khususnya dalam bentuk utang luar negeri swasta.

Di pihak lain, perekonomian mengalami kontraksi yang cukup dalam minus 13 persen, sementara inflasi melonjak hingga double digit. Industri perbankan kita pun harus direkapitalisasi dengan biaya yang sangat besar.

Baru setelah selama 14 tahun melakukan reformasi di bidang ekonomi, keuangan, dan politik, meningkatnya rating Indonesia dari BB+ ke BBB- pada akhir tahun 2011 lalu mengkonfirmasi bahwa Indonesia saat ini dinilai layak menjadi tempat investasi.

"Tentu ini adalah sebuah pencapaian yang membesarkan hati karena terjadi pada saat banyak rating negara lain khususnya di Eropa yang justru diturunkan. Kondisi paradoks tersebut semakin memperkuat keyakinan bahwa di tengah meningkatnya ketidakpastian kondisi global belakangan ini, perekonomian kita tetap memiliki ketahanan yang cukup baik," katanya.

Pencapaian tersebut, lanjut Darmin juga merupakan buah dari hasil kerja keras dan jalinan kerjasama di antara semua pemangku kebijakan, para pelaku di dunia usaha dan sektor keuangan, serta masyarakat secara luas.

Namun, Darmin melihat meski pencapaian investment grade akan memberikan keuntungan bagi perekonomian, hal itu bukanlah tujuan akhir pembangunan ekonomi Indonesia karena justru merupakan tantangan untuk memacu pertumbuhan ke tingkat potensialnya sekitar 7 persen.

"Saya memandang, kita memiliki peluang untuk mencapainya apabila kita dapat memanfaatkan berbagai potensi besar yang kita miliki dan secara bersamaan menuntaskan berbagai persoalan struktural di tingkat mikro yang masih terus menjadi beban bawaan (perennial) dari tahun ke tahun," kata Darmin.

Pengamat ekonomi Fauzi Ichsan mengatakan peringkat "investment grade" akan sangat membantu perekonomian Indonesia seperti terlihat dari membaiknya indeks saham di BEI setelah kenaikan rating tersebut, dan diperkirakan akan terus meningkat pada tahun ini.

Beberapa sektor ekonomi lain, lanjutnya juga diperkirakan akan terus membaik seperti rasio utang bruto, neraca pembayaran dan tingkat kemiskinan dan pengangguran.

"Yang jelas pasar keuangan Indonesia akan terbantu kenaikan peringkat risiko Indonesia menjadi investment grade," katanya.


Infrastruktur

Darmin Nasution menilai permasalahan struktural di bidang ekonomi masih sangat luas dan harus segera diperbaiki terutama di bidang yang paling menghambat di mata pelaku usaha yaitu bidang infrastruktur, baik infrastruktur keras maupun lunak atau kualitas SDM.

Menurutnya, infrastruktur keras mencakup infrastruktur teknis seperti jalan raya, pelabuhan, dan listrik, sedangkan infrastruktur lunak mencakup infrastruktur sains, kesehatan dan lingkungan hidup, serta pendidikan, termasuk di dalamnya lingkungan yang kondusif bagi berkembangnya inovasi.

Dijelaskannya, kemajuan implementasi kebijakan di sisi struktural ini akan menjadi faktor kunci terhadap proses menurunnya inflasi karena akan memperbesar kapasitas perekonomian.

Perbaikan struktural ekonomi ini, tentunya akan mendukung kondisi demografi Indonesia yang sangat menguntungkan dalam hal ukuran pasar domestik yang besar, transisi demografi yang didominasi oleh penduduk usia produktif, maupun perilaku rasional masyarakat dalam mengelola tingkat konsumsinya.

"Perlu dicatat bahwa momentum demografi yang kondusif di Indonesia tersebut diperkirakan hanya akan berlangsung hingga tahun 2025- 2030. Oleh karena itu, langkah-langkah perbaikan strukural yang signifikan sebelum datangnya periode tersebut akan sangat krusial dalam menentukan sustainabilitas pertumbuhan ekonomi Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi dalam jangka menengah panjang," katanya.

Darmin berpendapat rating "investment grade" yang didapat Indonesia juga harus diikuti optimalisasi dan efisiensi di semua sektor ekonomi, sehingga pertumbuhan ekonomi bisa mencapai titik potensial yang bisa tercapai.

"Pencapaian ekonomi kita sudah bagus, tetapi itu tidak optimal dan tidak efisien, bukan cuma di bank tetapi di seluruh sektor ekonomi," katanya.

Menurut Darmin, BI telah menyusun berbagai langkah di bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan untuk meningkatkan efisiensi yang diharapkan bisa menciptakan keseimbangan pertumbuhan ekonomi yang lebih optimal.

Dikatakannya, sebagai upaya mendorong efisiensi, BI berusaha untuk menurunkan suku bunga perbankan. Penurunan suku bunga itu bisa terjadi jika keseimbangan dicapai pada harga yang rendah.

Tidak efisiennya ekonomi Indonesia, katanya, juga terlihat dari transaksi berjalan yang mulai kwartal empat 2011 sudah negatif akibat lebih tingginya impor dibanding ekspor dan kondisi ini akan terus terjadi pada 2012.

"Pada 2012 sepanjang tahun akan terjadi defisit transaksi berjalan, sehingga harus diupayakan transaksi modal harus surplus untuk menutupnya melalui penanaman modal asing," katanya.

Negatifnya transaksi berjalan, lanjutnya, merupakan kelemahan struktur ekonomi Indonesia karena industri bahan baku dan bahan modal sangat sedikit. Dengan pertumbuhan ekonomi 6-7 persen, maka impor tumbuh lebih cepat dari ekspor, sehingga transaksi berjalan menjadi defisit.

Dua peringkat layak investasi, memang harus dilihat merupakan pencapaian kinerja ekonomi Indonesia yang dicapai dengan kerja keras berbagai pihak dalam waktu yang panjang.

Namun, berbagai persoalan masih banyak menghadang yang bisa membuat peringkat layak investasi itu hanya sebuah sebutan saja, karena kesempatan yang terbuka tidak bisa dimanfaatkan sepenuhnya dengan memperbaiki berbagai hambatan itu.

"Saya bukan pesimis meski kita dapat `investment grade`, tapi banyak yang harus dibenahi," kata Darmin.

(D012/A025)

Oleh Dody Ardiansyah
Editor: Ella Syafputri
COPYRIGHT © ANTARA 2012