Jakarta (ANTARA) - Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mengingatkan pentingnya pembentukan desa tangguh bencana (destana) dalam rangka meningkatkan kapasitas masyarakat untuk menghadapi bencana.

“Desa tangguh bencana merupakan salah satu program yang bertujuan mewujudkan masyarakat yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi risiko bencana,” kata Deputi Bidang Koordinasi Pemerataan Pembangunan Wilayah dan Penanggulangan Bencana Letjen TNI (Purn) Sudirman dalam wawancara virtual bersama ANTARA di Jakarta, Rabu.

Baca juga: Pemprov Jambi kembangkan desa tangguh bencana

Deputi menjelaskan pada saat ini terdapat lebih dari 5.000 destana dan sejenisnya yang telah dibentuk oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat maupun inisiasi masyarakat lokal.

“Jumlah 5.000 lebih destana sudah cukup baik namun tentu ke depan diharapkan jumlah destana di Tanah Air masih akan terus meningkat,” katanya.

Untuk meningkatkan jumlah destana, Kemenko PMK mendorong penguatan sosialisasi destana dan program sejenisnya agar seluruh wilayah di Indonesia baik secara kelembagaan desa maupun sumber daya masyarakatnya memiliki kesiapan dan ketangguhan untuk menghadapi bencana serta mampu memulihkan diri dengan segera dari dampak yang merugikan.

Baca juga: BPBD: Pembentukan desa tangguh bencana di DIY mengacu SNI Kebencanaan

Menurutnya, program desa tangguh bencana yang mengutamakan pelibatan masyarakat akan meningkatkan kapasitas masyarakat itu sendiri dalam menghadapi bencana.

“Peningkatan kapasitas masyarakat ini sangat diperlukan karena akan memberikan dampak terhadap upaya pengurangan risiko bencana," katanya.

Sudirman menambahkan upaya untuk menumbuhkan ketangguhan masyarakat terhadap bencana salah satunya dengan meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa peran aktif masyarakat dalam mitigasi bencana sangatlah penting.

Baca juga: 10 desa tangguh bencana dibentuk di perbatasan NTT-Timor Leste

“Terutama bagi masyarakat yang tinggal di lokasi rawan bencana, misalkan mereka yang tinggal di lokasi rawan gempa maka perlu mengetahui jalur-jalur evakuasi yang aman, mengetahui apa yang harus dilakukan saat menerima informasi peringatan dini. Atau bagi mereka yang tinggal di lokasi rawan longsor perlu mengetahui tanda-tanda awal pergerakan tanah dan lain sebagainya,” katanya.

Menurutnya masyarakat perlu terus meningkatkan pemahaman yang responsif dan adaptif.

“Ini merupakan bagian dari ‘think resilience’ atau berfikir ketahanan karena keterlibatan masyarakat sangat diperlukan dalam penanggulangan bencana mengingat masyarakat dapat menjadi pihak pertama yang terkena dampak, sekaligus juga menjadi pihak pertama yang memberikan respons terhadap bencana yang dihadapi,” katanya.

Pewarta: Wuryanti Puspitasari
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
COPYRIGHT © ANTARA 2022