Jakarta (ANTARA News) - Untuk sebuah negara yang baru saja diterkam konflik, keberhasilan Libya tampil di kualifikasi Piala Afrika amatlah mencengangkan.

Jelas perjalanan mereka ke ajang itu tidaklah mudah.

Seperti apakah timnas Libya itu.  Kepada AFP, salah seorang staf medis timnas Libya memberilam kesaksiannya.

Juli 2010, Helvecio Pessoa, nama si staf medis, bergabung dengan timnas Libya.  Dia bahu membahu bekerja dengan pelatih asal Brazil Marcos Paquetta dan seluruh staf yang hampir semuanya juga orang Brazil.

Setelah Libya dikalahkan tuan rumah Piala Afrika, Guinea Ekuatorial, pada pertandingan pembukaan, pria berusia 55 tahun ini menceritakan traumanya ketika harus kabur dari negaranya begitu revolusi yang akhirnya menggulingkan Moamar Kadhafi dimulai.

Adalah satu upaya yang luar biasa untuk menjaga timnas Libya bertahan ada, di tengah hujan bom dan peluru sampai mereka berhasil melewati babak kualifikasi Piala Afrika 2012.

Pessoa bercerita, kehidupan di Tripoli normal dan aman, sampai kemudian perang saudara pecah.

"Kami hidup rukun, memakan Churrasco (daging sapi panggang seperti Satai). Kami tidak pernah memiliki masalah dengan Mohammed (Khadafi)," katanya.

Mohammed adalah putra tertua Khadafi. Dia adalah presiden Federasi Sepak Bola Libya, ketika itu.

Ingatan Pessoa melayang ke masa di mana revolusi Libya pecah. "Saat itu kami takut, namun keluarga saya di Brazil jauh lebih takut lagi."

Pessoa memiliki seorang putra di Amerika Serikat.  "Kami sedang berbicara melalui Skype, tiba-tiba koneksi kami terputus," kenang Pessoa.

Begitu mengetahui komunikasi terputus, anaknya itu menangis, membayangkan apa yang menimpa ayahnya nun jauh di Libya sana.  Ternyata Pessoa selamat.

Februari 2011, Pessoa dan seluruh staf asal Brazil yang tersisa memutuskan meninggalkan Libya.

"Kami mendatangi duta besar Brazil yang memberi kami dukungan. Seluruh agen perjalanan tutup, kami memesan tiket melalui internet. Kami mendatangi bandara, seluruh warga asing di Libya juga berada di sana."

Rombongan Pesso tiba keesokan harinya di bandara. Masing-masing dari mereka membawa satu tas kecil, beberapa dari mereka membawa istri dan anak-anak.

"Seorang warga Libya yang bekerja untuk kedutaan membantu kami cekin dan kami berupaya menggunakan dua penerbangan  komersial terakhir Alitalia ke Roma. Sejak itu, kami tidak pernah kembali ke Libya," kata Pessoa.

Pessoa bersama rekan-rekan tim Libya lainnya menetap di Brazil, lalu berjumpa dengan timnya di Tunisia.

"Kami berbicara dengan pelatih yang menetap di Libya via Facebook untuk menghadapi babak kualifikasi melawan Mozambik yang digelar di Kairo, kami tidak mengetahui para pemainnya. Sebagian besar pemain berasal dari Benghazi," kata Pessoa.

Pemerintahan pasca-khadafi lalu mengeluarkan daftar pemain yang dilarang memperkuat tim, salah satunya Kapten Tarek El Tayab, seorang pendukung Khadafi.

"Ini menyulitkan Paqueta, karena yang dilarang itu adalah pemain-pemain yang baik," kata Pessoa.

Pessoa dkk lalu memompa semangat tim.  Dia bangga timnya tak pernah mengeluh, sangat serius dan memiliki motivasi bertanding yang tinggi.

Hampir semua pemain berasal dari lokal Libya. Satu-satunya pemain yang mengikat klub asing adalah pemail tengah Jamal Abdallah, yang bermain untuk Sporting Braga di Portugal.

"Kami harus berjuang mengembalikan kekuatan mereka dengan banyak berlatih di pusat kebugaran, serta berlatih menguasai bola. Kami harus mempersiapkan diri di Qatar dan Uni Emirat Arab, di bawah udara panas 40 derajat, lembab, selama Ramadan pula," kata Pessoa.

Pessoa dan segenap staf anggota tim mengaku selama lima bilan belum dibayar.  "Kami sedang dalam proses negosiasi untuk mendapat bayaran, masalah ini akan diselesaikan setelah Piala Afrika."

Libya bergabung di Grup A bersama Zambia, Senegal dan Guinea Ekuatorial.

Rabu malam ini pukul 22 WIB, Libya menjalani pertandingan keduanya melawan Zambia.  

M048

Penerjemah:
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2012