Jakarta (ANTARA) - Indonesia memiliki target untuk memenuhi target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025.

Karena itu, sejumlah daerah termasuk di Provinsi DKI Jakarta terus mendorong pemanfaatan EBT ini. 

EBT itu sendiri merupakan energi yang bersumber dari proses alam yang berkelanjutan. Contohnya energi yang berasal dari tenaga surya, tenaga angin, arus air, proses biologi dan panas bumi


BUMD TransJakarta pun telah memperkuat armada bus listrik menjadi 30 unit sampai dengan Juni 2022, belum lagi PT MRT yang tengah membangun koridor fase 2, serta begitu juga PT LRT yang tengah memasuki tahap akhir jaringan Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi (Jabodebek).

Tak hanya itu, penyelenggaraan Jakarta E-Prix pada Sabtu (4/6) menjadi momentum bagi sejumlah Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) mengeluarkan produk-produk kendaraan listrik seperti dipamerkan di ajang Jakarta Fair 2022.

Sejumlah kendaraan listrik dipamerkan di ajang Pekan Raya Jakarta (PRJ) bersanding dengan kendaraan berbahan bakar fosil.

Tak hanya roda dua, tetapi juga roda empat dengan harga yang bervariasi dan tentunya fitur yang diklaim lebih unggul.

Namun, pertanyaannya adalah selama masa transisi ke EBT, apakah Indonesia bisa lepas dari energi fosil begitu saja?

Patut diketahui hampir semua kebutuhan energi bus listrik, MRT, LRT, mobil/sepeda motor listrik seluruhnya bersumber dari PLN.

Baca juga: Mendorong peran industri dalam transisi energi

Sedangkan untuk sumber bahan bakar PLN sendiri sampai dengan November 2021 masih menggunakan non EBT sebanyak 87,4 persen, bahkan kalau dirinci lebih detail lagi kontribusi batubara masih tertinggi yakni 50,4 persen, kedua panas bumi 19,2 persen, gas 10,7 persen dan diesel (solar) 7,1 persen.

Dengan demikian ketergantungan terhadap bahan bakar fosil ke depan masih sangat besar.

Untuk itu, pada masa transisi ke penggunaan EBT ini, bahan bakar ramah lingkungan agaknya menjadi jawaban, salah satunya gas.
 
Pengguna sepeda melintas disamping angkutan umum bus listrik TransJakarta di Jalan Sudirman, Jakarta, Sabtu (12/3/2022). ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna/aa.

Daya saing
Mengingat kebutuhan energi minyak dan gas bumi (migas) masih tinggi di Indonesia maka di sini dituntut peningkatan daya saing.

Hal itu agar pelaku di sektor migas bisa meningkatkan aktivitasnya di dalam negeri yang pada akhirnya mampu memenuhi produksi di dalam negeri.

Direktur Eksekutif Indonesia Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong mengatakan tantangan di masa transisi ini ada dua yakni meningkatkan produksi dan mengelola migas lebih ramah lingkungan.

Marjolijn menyebut penggunaan bahan bakar di masa transisi ini yang terpenting, emisi harus dapat dikendalikan, tidak hanya gas tetapi juga energi lainnya.

Menyangkut gas, Marjolijn mengatakan mengingat anggaran yang dimiliki pemerintah terbatas maka perlu perencanaan yang lebih fokus dalam artian dalam perencanaan harus dipastikan pusat pasarnya berada dimana, barulah infrastruktur bisa dibangun.

Baca juga: Indonesia dan isu transisi energi dalam fokus presidensi G20

Dengan demikian harus diketahui dimana saja sumber-sumber gas tersebut, lantas dimana saja pusat pasar itu maka itu saja dulu infrastruktur yang dibangun, tambah Marjolijn.

Begitu juga, terkait harga di kalangan pelaku industri migas, hendaknya pemerintah terbuka. Jadi harga bukan kemauan dari pelaku migas tetapi pemerintah melalui SKK Migas akan melakukan pemeriksaan.

Pemerintah akan mengecek berapa nilai keekonomian sebelum menetapkan harga.

Bukankah sampai saat ini, kegiatan penambangan migas itu masih sulit sehingga tidak mudah ada eksplorasi dan eksploitasi dan berakibat pada harga yang menjadi mahal.

Namun pemerintah juga punya insentif untuk menekan harga migas. Untuk itu butuh pemeriksaan secara berkala untuk menetapkan kebijakan.

Pemeriksaan itu bukan berdasarkan proyek tetapi juga produksi harian. Artinya pelaku di sektor migas tetap dapat menikmati manfaat.

Terkait dengan energi ramah lingkungan, Marjolijn mengatakan banyak teknologi yang bisa diterapkan sehingga strategi tersebut menjadi suatu tantangan.

Ia memberikan contoh, panas yang dihasilkan dari pembangkit listrik bisa dimanfaatkan lagi sebagai energi sehingga sumber daya yang digunakan bisa dihemat.

Baca juga: Kemendikbudristek gandeng ESDM dan swasta terkait energi terbarukan

Di sini yang dibutuhkan hanya aturan-aturan baru agar pemanfaatan bahan bakar untuk pembangkit listrik menjadi lebih efisien dan ramah lingkungan.

Berkembang
Sedangkan anggota IPA yang juga praktisi migas, Krishna Ismaputra mengatakan kebutuhan energi Indonesia ke depan akan lebih banyak lagi, seiring dengan sasaran pembangunan Indonesia.

Karena itu, tidak lagi bicara satu jenis energi saja tetapi sudah bercampur (beragam) yakni ada batubara, minyak, gas, termasuk EBT. 

Faktanya, hingga saat ini persentase migas memang mengalami penurunan, namun dari sisi volume justru mengalami kenaikan.

Di sini tantangannya adalah target produksi harus naik. Artinya semakin banyak lagi migas diproduksi.

Namun juga diingat kalau Indonesia terikat dengan perjanjian Paris untuk menurunkan tingkat emisi sebesar 39 persen untuk usaha sendiri pada 2050 dan 41 persen dukungan dari luar.

Target produksi satu juta barel per tahun merupakan hal yang relevan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Pertanyaannya, kebijakan yang tepat ada dua yakni memperbanyak lapangan migas di dalam negeri atau memperbesar impor? 

Baca juga: Menteri ESDM: Potensi dan teknologi EBT modal utama transisi energi

Menurut Krishna, sebaiknya meningkatkan produksi di dalam negeri karena efek lipatnya (multiplier) besar.

Disamping itu, kalau bergantung kepada impor akan menurunkan ketahanan energi. Pengalaman di Eropa tatkala ada sengketa, akan berpengaruh terhadap suplai energi.

Ia memberikan contoh, kalau ketahanan energi hanya untuk 20 hari, artinya kalau di atas itu tidak ada yang mengirim ke Indonesia maka bakal menyulitkan bagi semuanya.

Menurut Krishna, untuk mewujudkan ketahanan energi potensi di Indonesia masih sangat besar karena terdapat 68 cekungan yang belum dieksplorasi.
 
Teknisi memeriksa saluran uap air panas dari separator di Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Binary Organic Rankine Cycle(ORC) berkapasitas 500 KW yang dikelola PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) di Lahendong, Tomohon, Sulawesi Utara, Senin (25/4/2022). Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Binary Organic Rankine Cycle (ORC) tersebut merupakan proyek percontohan penerapan teknologi binary atau optimalisasi uap air panas dari sumur geothermal Lahendong untuk produksi listrik, dan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) berencana mengembangkan PLTP binary tersebut dengan kapasitas mencapai 25 MW sebagai komitmen mewujudkan sumber energi baru dan terbarukan. ANTARA FOTO/Reno Esnir/pras.

Persoalannya, belum tentu dari cekungan-cekungan itu bisa menghasilkan produksi sesuai keinginan. Ini berpengaruh terhadap biaya tetapi memang ke depan tetap perlu kegiatan eksplorasi.

Persoalan eksplorasi sangat bergantung kepada investor. Biasanya mereka sudah taruh uang di situ. Lantas dia akan berhubungan dengan SKK Migas untuk membicarakan insentif-insentif yang ditawarkan. Apabila cocok maka investor akan masuk. 

Oleh karena itu, penting untuk menciptakan iklim yang mendukung bagi investor migas mengingat pesaingnya ada di negara-negara tetangga yang juga memberikan insentif serupa.

Dengan demikian, pada masa transisi energi seperti sekarang ini, sebenarnya bagi pelaku industri migas adalah tambahan pekerjaan yakni mengurangi emisi karbon.

Baca juga: Setrum bersih untuk Indonesia dan dunia

Dukungan pemerintah dalam mewujudkan ketahanan energi sangat besar. Contohnya, apabila ada pengeboran yang terhenti, tentu akan dicarikan solusi agar bisa terlaksana lagi.

Tak lama lagi, IPA akan menggelar pameran dan konvensi (convex) yang salah satunya mengagendakan pembahasan mengenai energi transisi yang tidak saja menghadirkan pelaku tetapi juga pengambil kebijakan.

Melalui, pertemuan pihak-pihak yang berkepentingan itu diharapkan ada keselarasan dalam upaya mewujudkan ketahanan energi nasional.

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Edy Sujatmiko
COPYRIGHT © ANTARA 2022