Khartoum (ANTARA News) - Pemerintah Sudan telah menghancurkan iklim negosiasi, kata seorang pemimpin kelompok gerilya utama Darfur kepada AFP, Kamis, dan ia berjanji akan terus mendorong perubahan rejim.

"Saya tidak merasa pemerintah saat ini ingin berunding dengan kami dan mereka telah menghancurkan sepenuhnya lingkungan negosiasi," kata Gibril Ibrahim, pemimpin Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak (JEM) yang baru terpilih, melalui telefon dari sebuah lokasi yang dirahasiakan.

Gibril (56) terpilih pada Rabu malam untuk memimpin kelompok gerilya Darfur dengan persenjataan paling kuat itu, menggantikan saudaranya, Khalil Ibrahim, yang tewas bulan lalu dalam apa yang disebut JEM sebagai serangan udara.

Kematian Khalil telah membuat anggota-anggota JEM menunggu melakukan pembalasan, kata Gibril, dalam wawancara pertama media sejak ia memimpin gerakan tesebut.

"Saya tidak merasa anggota-anggota Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak... berada dalam posisi untuk berbicara mengenai dialog," katanya.

Gibril juga membantah bahwa gerakannya telah pecah.

"JEM tidak pernah merasa begitu bersatu seperti hari ini," katanya, dengan menambahkan bahwa pemerintah "lebih takut kepada JEM ketimbang organisasi lain di dunia".

JEM adalah satu dari sejumlah kelompok Darfur yang memberontak pada 2003 untuk menuntut otonomi lebih luas bagi wilayah barat yang gersang itu. Mereka kini dianggap sebagai kelompok pemberontak yang paling kuat.

JEM menolak menandatangani perjanjian perdamaian penengahan Qatar yang ditandatangani Sudan dan Gerakan Keadilan dan Kebebasan (LJR), sebuah kelompok pemberontak lain di Darfur.

Perpecahan di kalangan pemberontak dan pertempuran yang terus berlangsung menjadi dua halangan utama bagi perundingan perdamaian yang berlangsung sejak 2003 di Chad, Nigeria dan Libya, sebelum pindah ke Doha.

Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon telah mengungkapkan kekhawatiran atas peningkatan pertempuran antara gerilyawan dan pasukan pemerintah di wilayah Sudan barat itu.

Ban mengatakan, ia terutama khawatir mengenai pertempuran antara pasukan pemerintah dan kelompok gerilya Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak (JEM) serta Tentara Pembebasan Sudan (SLA) yang setia pada Minni Minnawi.

JEM dan SLA mengangkat senjata melawan pemerintah Sudan di Darfur pada 2003 dengan menuduh mereka mengabaikan wilayah barat Sudan yang terpencil itu.

Serangkaian gencatan senjata dan perjanjian telah gagal menghentikan pertempuran di kawasan itu. JEM bergabung dalam perundingan perdamaian Darfur pada Desember lalu, tujuh bulan setelah mereka menghentikan negosiasi.

PBB mengatakan, lebih dari 300.000 orang tewas sejak konflik meletus di wilayah Darfur pada 2003, ketika pemberontak etnik minoritas mengangkat senjata melawan pemerintah yang didominasi orang Arab untuk menuntut pembagian lebih besar atas sumber-sumber daya dan kekuasaan. Pemerintah Khartoum menyebut jumlah kematian hanya 10.000. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2012