Jakarta (ANTARA News) - Maraknya razia tabloid dan majalah yang dituding menyebarkan pornografi sekitar awal Februari 2006 mendapat perhatian dari Dewan Pers. "Bukan hanya merazia tetapi juga melakukan penyitaan dan menangkap agen dan pengedarnya. Kondisi ini lah yang akan kita bahas," kata Wakil Ketua Dewan Pers, RH Siregar, sebelum acara kepada ANTARA di Jakarta, Kamis. Siregar mengatakan pembahasan masalah tersebut dilakukan di Sekretariat Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih 32-34 Jakarta Pusat, Kamis (9/3) pukul 09.00 WIB hingga pukul 13.00 WIB. Menurut rencana, pembahas yang hadir di antaranya Kepala Divisi Hukum Mabes Polri, Irjen Pol Hari Sunanto, dan Ketua Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Pusat, Mahtum Mastoem, dan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Husna Zahir. Dalam pertemuan, lanjut Siregar, pihaknya ingin mendapatkan keterangan dan informasi kenapa selama ini polisi hanya menangkap pengecer dan bukan mereka yang bertanggung jawab terhadap majalah tersebut. "Seharusnya bukan hilirnya yang ditangkap, tapi harus hulunya yakni pemilik dan penangung jawab media. Pengecer hanya ingin mencari nafkah," katanya. Siregar menjelaskan razia aparat kepolisian terhadap majalah atau tabloid porno sebenarnya patut didukung. Namun karena belum adanya kejelasan undang-undang mengenai pornografi, maka tindakan razia dapat menimbulkan pro dan kontra. Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Pers yang menyebutkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Akibatnya, razia itu menimbulkan sikap pro dan kontra "Karena itu pembahasan lebih difokuskan pada razia media porno dan perlindungan hak publik, apakah diperlukan peraturan distribusi atau tidak," demikian Siregar. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006