Jakarta (ANTARA News) - Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengungkapkan, untuk dapat bersaing dengan produk RRC di pasar dunia, Indonesia harus menerapkan standar kualitas dan keamanan internasional. "Kita sulit untuk bersaing head to head dengan RRC. Kita akan kalah dari skala, mereka 10 kali lebih besar dari kita. Kita harus masuk dari kualitas dan keamanan produk, terapkan standar internasional," katanya dalam sebuah acara bincang-bincang yang diselenggarakan oleh radio swasta di Jakarta, Sabtu. Menurut Mari, pemerintah dalam posisi membantu dan memberdayakan pengusaha. Program dan kebijakan pemerintah, kata dia, dikeluarkan untuk menciptakan persaingan yang adil, penjualan dan distribusi yang aman dan mengurangi ekonomi biaya tinggi. Sedangkan untuk mengatasi membanjirnya produk murah dari RRC melalui praktek selundupan, menurut Mari, solusinya dengan undang-undang pabean yang masih dibahas di DPR dan peningkatan daya saing produk lokal. Dalam bincang-bincang itu, pengusaha mainan dan penjual komputer mengeluhkan masuknya produk selundupan yang murah dan berkualitas buruk. "Memprihatinkan, pengusaha boneka kain sudah berguguran. Lebih dari 70 persen barang selundupan masuk," kata seorang pengusaha mainan anak, Hartati, Hartono. Menurut dia, dari 50 pabrik boneka saat ini tinggal kurang dari 10 pabrik yang masih ada. "Dari segi harga kita kalah, tapi kualitas kita jauh lebih baik, juga dari sisi keamanan produk. Boneka kain Cina harganya bisa setengah dari kita tapi banyak yang tidak sesuai standar, kainnya banyak yang luntur,"katanya. Sementara itu, penjual komputer, Hermawi S. Taslim, mengeluhkan membanjirnya produk elektronik bekas dan berkualitas rendah ke Indonesia. "Kulkas tidak ramah lingkungan, monitor yang radiasinya tinggi, printer bekas. Serbuan barang bekas banyak sekali dan rakyat kita tetap bangga karena produk luar negeri. Akibatnya tidak ada gairah orang untuk berbisnis dengan baik,"katanya. Menurut dia, pengusaha tidak berdaya karena masyarakat juga memilih untuk membeli produk Cina karena alasan lebih murah. Ia mengusulkan agar pemerintah mendorong relokasi industri komputer ke Indonesia dengan pembatasan kuota penjualan. Misalnya, lanjut dia, jika 150 ribu unit monitor Acer terjual di Indonesia, maka pabriknya harus ada di Indonesia.(*)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006