Surabaya (ANTARA News) - Menteri Perindustrian Fahmi Idris meminta kalangan produsen sepatu nasional agar mewaspadai indikasi munculnya praktek "transshipment" (ekspor melalui negara ketiga) produk sepatu China ke Eropa atau Amerika Serikat (AS) melalui Indonesia, dengan tujuan menghindari penerapan bea masuk (BM) tinggi yang diterapkan negara-negara itu untuk produk sepatu China. "Jangan sampai model transshipment yang pernah dilakukan China ke Indonesia pada tekstil terjadi di industri sepatu," kata Menperin saat dialog dengan anggota Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Jawa Timur, di Sidoarjo, Sabtu. Dalam dialog itu anggota Aprisindo Jatim mengeluhkan mulai maraknya tawaran re-ekspor produk sepatu China ke negara maju. Menperin Fahmi Idris mengingatkan model transshipment yang pernah dilakukan oleh China untuk ekspor tekstilnya ke AS melalui Indonesia, terbukti sangat merugikan karena berakibat pemerintah AS memberikan sanksi kepada Indonesia. Cara yang sama, bisa dilakukan China kepada Indonesia untuk produk sepatu. Hal itu disebabkan negara yang dibanjiri produk China sudah kewalahan, sehingga mereka menerapkan BM yang tinggi untuk produk dari negara "Tirai Bambu"itu. Akibatnya China berupaya memasukkan produknya ke Eropa atau AS melalui Indonesia. Untuk menangkal praktek tersebut, lanjut Fahmi, kalangan produsen sepatu diminta untuk menolak apabila ada permintaan dari China untuk mengekspor kembali (re-ekspor) produk mereka dengan menerbitkan `certificate of origin` (Surat Keterangan Asal barang-SKA) dari Indonesia. Pengusaha sepatu juga harus aktif melaporkan kepada pemerintah apabila mengetahui ada permintaan seperti itu dari China. Ia juga minta Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur, sebagai salah satu instansi yang mempunyai kewenangan menerbitkan SKA, agar berhati-hati dalam menerbitkan SKA untuk sepatu. "Harus betul-betul dicek untuk menghentikan praktek transshipment yang tidak wajar. Harus dicurigai manifes barang yang ditulis tangan," katanya. Pemerintah akan segera memperbaiki peraturan perundangan yang menyangkut masalah kepabeanan dan investasi, antara lain melalui penerapan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi yang lebih canggih antar pelabuhan. Namun ia mengakui masuknya produk China ke Indonesia beserta dampaknya memang tidak bisa dihindari karena terkait dengan dinamika perdagangan internasional. "Yang penting industri sepatu nasional harus terus meningkatkan kompetensinya sehingga bisa menghasilkan produk yang bersaing dengan negara lain," katanya. Dalam dialog dengan Menperin, Presdir PT Golden Footwear Indonesia, Welly Karlan, yang juga anggota Apresindo Jatim mengaku telah mendapat tawaran dari pengusaha China untuk mengekspor kembali (re-ekspor) produk sepatu China yang masuk ke Indonesia. Ia menyatakan pengusaha China itu bersedia membayar 500 dolar per kontainer, asalkan dia bisa mendapatkan SKA dari pemerintah RI. "Jika Saya bisa dapat SKA, mereka menyiapkan pengiriman 1.000 kontainer per bulan, sehingga uang yang bisa diperoleh 500.000 dolar AS atau sekitar Rp5 miliar per bulan," kata Welly yang mengoperasikan pabrik di kawasan Sidoarjo. Sebagai pengusaha sepatu yang masih aktif berproduksi, lanjut Welly, dirinya tidak tergiur dengan tawaran uang tersebut. Namun bagi industri sepatu yang tidak aktif berproduksi peluang tersebut jelas menjajikan, katanya. Antidumping Menurut Ketua Aprisindo Jatim, Edi Wijanarko, munculnya tawaran re-ekspor produk sepatu China kemungkinan sebagai dampak kebijakan antidumping Eropa atas sepatu China dan Vietnam. Eropa kini mengenakan bea masuk 37 persen untuk sepatu dari China dan Vietnam, sementara BM untuk sepatu Indonesia hanya 13 persen, katanya. Selain itu, banyaknya industri sepatu di Indonesia yang tidak berproduksi juga bisa menyuburkan praktek tersebut karena dengan re-ekspor produk China mereka bisa mendapatkan uang tanpa melakukan kegiatan produksi, katanya. Saat ini saja dari 110 pabrik sepatu anggota Aprisindo Jatim, yang masih aktif berproduksi hanya 40-an pabrik, sebagai dampak melemahnya pasar di dalam negeri maupun ketatnya persaingan di luar negeri, katanya. Tetapi menurut dia, kebijakan antidumping Eropa atas produk China dan Vietnam tidak selalu berdampak negatif bagi industri sepatu di Tanah Air. Penerapan antidumping itu ada sisi positifnya, karena pembeli Eropa kini sudah banyak memesan lagi produk sepatu Indonesia. "Bahkan banyak industri sepatu China dan Vietnam ingin relokasi pabrik mereka ke Indonesia," kata Edi Wijanarko. Hanya saja ia sependapat dengan Menperin agar masuknya produk impor sepatu China ke Indonesia perlu diwaspadai, karena diakui pola transshipment seperti pada tekstil sudah muncul di industri sepatu. Oleh karena itu, pihaknya akan proaktif melaporkan apabila diketahui ada kejadian serupa serta terus memperbaharui status keanggotaan Aprisindo Jatim. Namun ia juga mengimbau pihak dinas perindustrian provinsi agar menginformasikan secara terbuka melalui situs internet, jumlah SKA yang sudah diterbitkan sehingga bisa dilakukan cek silang. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006