Bogor (ANTARA News) - Indonesia sangat kaya keanekaragaman hayati namun anehnya sekitar 90 persen bahan baku obat tradisional Indonesia masih diimpor. "Ini memang aneh. Ada sekitar 600 industri herbal di Indonesia, tetapi lebih banyak menggunakan bahan baku impor," kata Deputi Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bidang Ilmu Pengetahuan Hayati, Prof Dr Endang Sukara seusai Penyerahan 5.118 Koleksi Tumbuhan dari PT Eisai ke Museum Etnobotani di Bogor, Selasa. Menurut Endang, kenyataan tersebut berkaitan dengan kebutuhan akan kontinuitas bahan baku yang mampu disediakan perkebunan (plantation) di Indonesia. Industri farmasi di Indonesia, ujarnya, juga hanya mengemas rumusan farmasi yang sudah ada dari luar dan tidak melakukan penelitian dan pengembangan untuk memberdayakan potensi yang ada di dalam negeri. Untuk mengatasi kurangnya ketersediaan bahan baku, ujar Endang, pemerintah perlu mendorong Pemda-pemda mengembangkan tanaman herbal yang dibutuhkan dunia kesehatan dan pengobatan saat ini. "Sekarang ini dunia lapar bahan baku. Ketika ada pihak luar menanyakan stok tanaman pegagan kita untuk keperluan industrinya saja kita langsung kelabakan, kita hanya memiliki dalam jumlah yang tak memadai," katanya. Pegagan, ia menambahkan, obat hipertensi yang setelah diteliti ternyata jauh lebih canggih dibanding ginkobiloba, bahan baku obat hipertensi yang mendominasi pasar di China, Jepang dan Korea dan menghasilkan miliaran dolar AS bagi industrinya. "Seharusnya negara dengan 40 ribu jenis flora seperti Indonesia ini mampu mengembangkan kekayaannya itu menjadi bahan baku yang bernilai ekonomi tinggi dengan anggaran penelitian yang besar," katanya. Ia membandingkan, anggaran penelitian untuk obat di Singapura selama tiga tahun yang mencapai 3,7 miliar dolar AS sementara anggaran penelitian hayati di LIPI hanya Rp24 miliar per tahun. Mikroba monascus anti kolesterol yang menghasilkan keuntungan 19 miliar dolar AS per tahun atau obat anti kanker prostat dari Takeda yang menghasilkan 8,6 miliar dolar AS per tahun, ujarnya, melewati proses yang panjang dalam penelitian. Endang juga mengatakan, sebesar 10 persen dari dunia flora ada di wilayah tempat Indonesia berada, namun baru 30 persen dapat didokumentasikan secara ilmiah dan sedikit saja yang memberi nilai ekonomi tinggi. Sekitar 23 persen Produk Domestik Bruto Indonesia barasal dari hasil pertanian, peternakan, perikanan dan perhutanan dan 40 juta masyarakat Indonesia tergantung langsung pada keanekaragaman hayati.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2006