Jakarta (ANTARA) - Hiruk pikuk sibuknya masyarakat urban yang tinggal di perkotaan, agaknya sudah hal biasa.

Aneka peristiwa itu menjadi menarik ketika bisa dinikmati melalui sebuah karya fiksi, novel tepatnya. 

Karena itu, MetroPop hadir sebagai genre fiksi yang mengemas isu kota besar dengan gaya pop.

Adanya latar belakang isu perkotaan bisa membuat sudut pandang menarik dengan diceritakan lewat gaya bahasa yang mudah dicerna dan diwarnai bumbu percintaan.

Kesempatan inilah yang membuat Gramedia Pustaka Utama (GPU) menggagasnya pertama kali untuk bisa masuk ke dalam ranah penerbitan buku Indonesia pada 2004.

“Awalnya dari 'Chick lit' yang tren di UK dan US pada awal tahun 2000-an. Cerita dunia kerja, wanita mandiri di perkotaan menjadi awal gagasan membuat MetroPop,” kata editor genre MetroPop GPU Hetih Rusli suatu ketika di Jakarta. 

Chick lit merupakan sejenis karya sastra yang ditujukan untuk wanita muda, lajang dan mandiri. 

Hetih mengatakan kalau ide MetroPop berasal dari Chick lit Being Single and Happy, dari hal tersebut GPU ingin mengangkat kemandirian perempuan dalam MetroPop karena mayoritas 80 persen pembaca novel adalah perempuan.

Sementara itu, saat ini banyak perempuan yang bekerja di luar rumah.

Melalui genre Metropop, GPU ingin lebih mengangkat beragam pekerjaan profesional yang dijalankan perempuan.

Baca juga: Anies: Jakarta harus ambil peran di kancah literasi dunia

Jadi, tidak hanya sebagai istri atau ibu yang identik bekerja di dalam rumah.

Bahwa tidak apa-apa bagi seorang perempuan untuk berkarir terlebih dahulu sebelum menikah dan punya banyak hak untuk pilihan pekerjaannya, kata Hetih.

Sehingga MetroPop tidak hanya memperlihatkan betapa megahnya Ibu Kota, mahalnya gaya hidup pegawai kantoran, dan percintaan antara bos dan karyawan namun genre ini lebih mengutamakan kemandirian perempuan dalam ceritanya.
 
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kanan) menerima Buku berjudul "Sejuta Puisi untuk Jakarta" dari Sastrawan Jose Rizal Manua (kiri) saat peresmian Perpustakaan Jakarta dan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta, Kamis (7/7/2022). Perpustakaan yang menyimpan sekitar 138ribu koleksi buku serta koleksi arsip kesusastraan milik sastrawan HB Jassin itu mulai dibuka untuk umum dari pukul 09.00-17.00 WIB dengan kapasitas 300 pengunjung dari usia dini, anak-anak, dewasa, lansia, maupun difabel. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Selain itu, menurut Hetih, di luar negeri belum ada semacam genre yang terbuka untuk penulis dan pembaca lelaki.

Nantinya mereka juga bisa memiliki kesempatan untuk menikmati cerita dunia kerja tanpa harus terikat gender.

Harapannya, MetroPop hadir di Indonesia agar bisa menjadi bacaan netral bagi setiap gender.

Adapun penerbit buku fiksi dan nonfiksi tersebut menggagasnya dengan menerbitkan tiga novel MetroPop pertama kali yakni “Indiana Chronicle” oleh Clara Ng, “Cewek Matre” oleh Alberthiene Endah, dan “L.S.D.L.F. (Lontong Sayur Dalam Lembar Fashion)” oleh Syahmedi Dean.

“Belakangan bisa kita lihat novel-novel MetroPop menampilkan perempuan yang berkarir. Jadi, tidak hanya sekedar kisah cinta perempuan dengan CEO. Misalnya di novel Alberthiene Endah, itu tokoh-tokoh perempuannya kebanyakan wartawan,” ujarnya.

Menurut Hetih, menulis genre MetroPop berfokus pada tokoh yang sudah bekerja, latar belakang perkotaan, dan kisah romantis antar tokoh.

Riset penulisnya pun bisa dari internet dan terjun ke lapangan.

Genre Metropop yang ringan akan semakin disukai saat ceritanya juga dialami dan dirasakan oleh pembacanya.

Baca juga: Ribuan Karya Sastra Penuhi Ruang Publik Jakarta

Isu perkotaan
Salah satu penulis novel MetroPop saat ini yang paling banyak dikagumi kalangan pembaca adalah sosok Almira Bastari.

Karyanya yang bergenre MetroPop berjudul “Resign”, “Ganjil Genap”, dan “Home Sweet Loan” berhasil mendapat penjualan terlaris (best seller) di toko buku seluruh Indonesia.

Menurut Almira, yang membedakan MetroPop dengan genre fiksi lainnya adalah membahas kehidupan kota-kota besar dan mencakup usia dewasa mulai dari 25 tahun.

Ia memilih menulis genre MetroPop lantaran menyesuaikan perkembangan usianya sebagai penulis.

“Kita kan sebagai penulis ingin memiliki pendewasaan diri, merasa ingin menulis lebih dewasa dari sebelumnya,” kata Almira.

Lebih lanjut, salah satu judul novel yang menarik untuk dibahas berjudul “Ganjil Genap” yang mengangkat kebijakan pemerintah DKI Jakarta sebagai salah satu solusi mengatasi kemacetan di Ibu Kota.

Menurut Almira, kebijakan ini menarik karena berhubungan dengan keseharian pembaca yang juga turut merasakan.

“Ganjil genap itu karena 3in1 sih. Kan aku kerjanya selalu di Sudirman terus kayak selalu kena 3in1. Padahal kalau misalnya mau pulang ‘eh ada yang mau lewat sini’. Jadi, aku mencari orang yang mau nebeng dan 'ditebengin' lalu terpikir ada gak ya orang yang jatuh cinta karena 'tebengan' 3in1?” tambahnya.

Namun seiring berjalannya waktu, kebijakan 3in1 tersebut terganti menjadi ganjil genap.

Almira mengatakan kalau dirinya lebih cocok dengan konsep ganjil genap di novelnya karena hanya ada dua orang yang terlibat sehingga lebih sesuai dibuat kisah cinta.

Baca juga: Dewan Kesenian Jakarta luncurkan situs kritik sastra dan DKJ NET

Adapun riset yang dilakukan Almira tak hanya saat menaiki kendaraan, namun juga mengikuti les menyelam karena untuk memperkuat cerita yang ada di dalam novel tersebut.

Sang tokoh utama sudah melewati perjalanan di darat, menyelam di laut, hingga terbang di udara namun belum juga bertemu jodohnya.

Sementara itu, untuk mendapatkan ide, Almira sering mendapat curhatan dari sesama teman perempuannya yang selalu dituntut menikah di saat usia menjelang 30 tahun.

Di sisi lain, para perempuan masa kini masih sulit bertemu jodoh karena sibuk di dalam pekerjaannya.

Pekerja Ibu Kota
Novel “Home Sweet Loan” merupakan karya terbaru Almira pada tahun ini.

Ia terinspirasi dari orang-orang yang memilih bekerja di Jakarta padahal tinggal di luar Ibu Kota.

Tokoh utama yang bernama Kaluna bekerja sebagai Divisi Umum yang tugasnya biasa membantu pegawai kantoran seperti memesankan taksi hingga membeli tiket pesawat untuk kantor.
 
Pengunjung mengamati instalasi sepatu pada acara Urban Sneaker Society 2021 di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Minggu (5/12/2021). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/foc.

Lebih lanjut, Kaluna juga tinggal bersama keluarganya di sebuah apartemen rusun yang terbilang sempit berukuran 30m persegi.

Belum lagi dengan gaji Kaluna yang terbilang hanya satu digit, belum naik jabatan selama bertahun-tahun dan kurang ahli berbahasa Inggris sehingga membuat karirnya tidak berkembang.

“Home Sweet Loan ini karena semua orang di sekitarku kayak merasa capek karena rumahnya di Bintaro, BSD, Citayam. Mereka pergi itu subuh. Harus naik KRL yang jauh dari kehidupan nyata urban seperti di Senopati dan SCBD. Kehidupan perkotaan besar ini membuat tokoh berusaha mencari nafkah untuk keluarga dan dirinya agar bisa hidup lebih layak,” katanya.

Baca juga: Jakarta tuan rumah temu sastra Indonesia

Menurut Almira, genre MetroPop ternyata mayoritas disukai anak muda lantaran mereka penasaran bagaimana hidup menjadi orang dewasa.

Dari genre novel inilah para anak muda mendapat gambaran bagaimana suka duka bekerja sebagai pegawai kantoran meski hanya dikemas dalam bentuk fiksi.

Sedangkan bagi para usia dewasa, novel bergenre perkotaan ini membuat mereka mengenang pengalaman mereka selama bekerja di Ibu Kota yakni mulai dari macetnya lalu lintas hingga waktu habis di perjalanan menuju pulang.

Dalam akhir wawancara, Almira mengatakan kalau dirinya masih ingin terus melanjutkan karirnya sebagai penulis novel genre MetroPop.

 “Banyak saran untuk terus nulis tentang daerah. Ya, cuma belum bisa meresapi karena dari kecil sampai sekarang hidupnya di sekitar Jabodetabek."

Pewarta: Luthfia Miranda Putri
Editor: Edy Sujatmiko
COPYRIGHT © ANTARA 2022