Jakarta (ANTARA News) - Pasangan kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono - M. Jusuf Kalla, yang menerima warisan tugas dan tanggung jawab pemerintahan menjelang tutup tahun 2004 hingga kini dihadapkan pada serangkaian kenyataan sehari-hari berupa tekanan yang tidak bisa ditunda lagi pemecahannya, termasuk membuka lapangan pekerjaan. Masyarakat di negeri ini kian menyadari bahwa lapangan kerja merupakan hasil investasi sektor swasta, yang antara lain syaratnya adalah faktor good public governance. Pihak Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) belakangan ini semakin sering mengeluh, "niat tanpa ketegasan, maka sulit untuk merealisasikan gairah iklim investasi". Bagi mereka, permasalahannya bukan sekadar government by law, tetapi juga government by bureacrats baik di pusat maupun sampai ke berbagai daerah. Bagi investor, yang lebih riil adalah tuntutan kepastian hukum/aturan berusaha tanpa terjebak dalam "ketakutan tersembunyi" (hidden fear), karena diperlakukan oleh oknum birokrat secara tidak etis, seperti perizinan usaha yang memakan waktu lama dan biaya terselubungnya, izin Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang ditafsirkan secara berbeda di antara penanam modal dengan oknum pejabat setempat. Mereka pun lantas kini berharap, aturan investasi asing maupun domestik harus ditangani secara lebih professional, agar iklim penanaman modal di negeri ini lebih memiliki potensi daya saing terhadap negara tetangga. PMA dimana pun juga lebih bermakna dibandingkan portfolio equity investment, yang lebih bersifat jangka pendek dan cenderung spekulatif. Investor asing (PMA) bukan hanya transfer dana, tetapi alih sumber daya manajerial, teknologi dan atau hak paten (intellectual property) yang menggerakkan daya saing internasional dalam mutu dan harga. Dalam kancah bisnis yang penuh persaingan, bangsa Indonesia tak bisa memungkiri bahwasanya PMA yang andal bakal menciptakan kesempatan kerja, dan dapat diharapkan untuk memperbaiki posisi neraca pembayaran tanpa memperbesar utang luar negeri. Ia membuka keterkaitan dengan pelaku ekonomi domestik melalui aliansi horizontal dengan menyuburkan perdagangan domestik. Investasi dan perdagangan tadinya dianggap sebagai substitut, namun sejak beberapa tahun belakangan ini justru dianggap sebagai saling mendukung (komplementer). Sudah hampir tiga tahun lalu, Profesor Toshihiko Kinoshita dalam satu seminar di Jakarta menyuguhkan gagasan berjudul Remarks on promoting Investment to accelerate the Economic Revitalization. Dalam forum internasional itu, ia menekankan beberapa butir yang patut dikerjakan secara serius dan terarah oleh Pemerintah RI dalam memberi substansi pada Undang Undang (UU) Investasi 2005. Pertama, menurut Kinoshita, perlunya aturan non-diskriminasi untuk Foreign Direct Investment (FDI) dibandingkan dengan PMDN. Sedangkan, hal kedua adalah perlunya ketegasan menyederhanakan proses persetujuan. One roof service layaknya Sistem Administrasi Satu Atap (Samsat) dianggap ideal, tetapi bagaimana cara itu diimplementasikan harus transparan dan kredibel, sehingga interpretasi UU Penanamam Modal 2002 harus dilarang. Kemudian, Kinoshita mengajukan penekanan ketiga mengenai betapa pentingnya faktor transparansi, dan faktor keempat adalah memberi investor insentif finansial yang diperlukan, antara lain insentif pajak (tax incentives). Kalau hanya menciptakan UU baru dan program promosi "Tahun Investasi 2005" tidak cukup membawa hasil dalam peningkatan realisasi penanaman modal, maka niat memperbaikinya harus dimulai dari pelayanan yang kecil dilandasi hukum/aturan yang sudah dirumuskan dengan baik. Hanya saja, bagi penanam modal ada keluhan, ternyata iklim investasi (investment climate) di RI dinilai semakin jelek sejak krisis keuangan regional (1997/1998) bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Sejak penyembuhan krisis (1999/2000), mereka memperlihatkan perbaikan yang dapat dibanggakan. Sebut saja di China, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Para investor pun menilai bahwa hal yang harus segera dikerjakan RI adalah tanpa menunda waktu segera mengambil kembali kepercayaan dengan memperkecil ketidakpatutan dan ketidakwajaran biaya (take back investors' trust by reducing unpredictability and unreasonable cost). Secara positif, Pemerintah Indonesia senantiasa perlu memonitor apa yang dikerjakan negara tetangga dalam menarik investor dengan menerapkan benchmarking yang dapat diukur dalam angka ukuran yang pasti artinya dari sisi mutu, kecepatan dan biaya (quality, fastness and cost). Dari situ pula peran seluruh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dipertajam dengan menempatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berpengetahuan layaknya komunikator sekaligus pemasar yang andal, serta berpola pikir calon investor guna menyerap informasi yang akurat sekaligus aktual untuk diteruskan rumusannya ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Dengan kata lain, BKPM dapat mencermati semua kepentingan gugus tugasnya secara up to date. Kalau tidak, maka di kalangan PMA menimbulkan pertanyaan: "Buat apa adanya sarana teknologi informasi yang dipasang di KBRI dalam jaringan kerjanya membangkitkan iklim investasi?. Lantas, PMA juga masih mengeluhkan, "Bagaimana mau dan mampu menciptakan gairah iklim investasi, kalau mutu SDM di banyak KBRI belum memadai untuk berani dan mampu berpromosi, sehingga senantiasa meragu, bahkan menunda-nunda memberi kepastian jawaban mengenai potensi pasar hingga ketegasan aturan mainnya?" Kalangan PMA --sudah bukan rahasia lagi-- banyak yang menginginkan Pemerintah RI memperbaiki kelemahan keamanan dan adanya kepastian hukum dengan meniadakan interpretasi oleh birokrat seenaknya saja, dan salah satu langkah perbaikan dimulai dari menghindari adanya penetapan pajak dan beban ilegal yang dipungut oleh banyak aparat di provinsi. Dengan kemauan untuk menstimulir investasi sesuai kapasitas aparat di daerah, maka UU Nomor 34/2004 dan UU Penanaman Modal 2002 agaknya dapat dirumuskan kerangka peluang investasi yang menempatkan faktor penanaman modal dan perdagangan menjadi semakin lebih baik secara langsung maupun tak langsung. Selain itu, aparat juga harus mampu berkinerja nyata terjadwal, berkonsekwensi dan tanpa menunda-nunda penyelesaian masalah. Singkat kata, PMA sangat memerlukan kepastian: "tepat waktu, tepat biaya" (better, faster and cheaper), dalam arti budaya produktivitas kerja bukan slogan melulu. *) Penulis adalah Pengamat Ekonomi/Bisnis, Dosen Fakultas Ekonomi/Magister Manajemen di Universitas Tarumanagara (Untar), Jakarta.

Oleh Bob Widyahartono, MA *)
COPYRIGHT © ANTARA 2006