Makassar (ANTARA News) - Adalah hak Presiden untuk memberikan dan juga hak Komisi Pemilihan Umum (KPU) bahkan hak seluruh warga negara untuk meminta amnesti dari Presiden, namun bila permintaan amnesti dari KPU itu dikabulkan, maka akan menimbulkan implikasi negatif yang amat luas dalam upaya pemberantasan korupsi di masa mendatang. "Amnesti itu -- bila dikabulkan -- akan menjadi preseden buruk dalam penegakkan hukum ke depan, terutama yang terkait dengan pemberantasan korupsi yang kini sangat gencar dilakukan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," kata DR. Aswanto, SH.MHum, pakar hukum dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Jumat. Aswanto yang juga mantan Ketua Panwaslu Sulsel itu mengatakan bahwa Presiden akan berpikir keras untuk mengabulkan permohonan amnesti dari KPU, karena hal itu akan menjadi indikator bahwa pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintahan Presiden Yudhoyono memang ada `pilih kasih` (tebang pilih). "Presiden Yudhoyono sudah mengatakan bahwa tidak ada ampun untuk para koruptor. Jadi kalau akhirnya presiden memberikan amnesti kepada anggota KPU, itu berarti bertentangan dengan komitmen beliau untuk memberantas korupsi dan ini akan menimbulkan implikasi negatif yang luas di bidang penegakkan hukum," ujarnya. Selain itu, kata dosen pasca sarjana Faklutas Hukum Unhas ini, alasan KPU untuk meminta amnesti tersebut juga sulit diterima oleh logika hukum dan perasaan keadilan masyarakat. Memang, katanya, semua pihak harus menghargai jasa-jasa para anggota KPU yang sukses melaksanakan Pemilu tahun 2004, namun jasa-jasa baik itu tidak boleh dihubung-hubungkan dengan pelanggaran hukum yang merugikan keuangan negara yang dilakukan oleh beberapa anggota KPU dan sudah terbukti di persidangan. Alasannya, korupsi di KPU itu sebetulnya tidak perlu terjadi kalau ketentuan Keppres No.8 tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa dijalankan dengan baik, dan setiap anggota KPU bisa menghindari pekerjaan yang seharusnya ia tidak kerjakan. Menurut dia, pekerjaan pengadaan barang itu sebenarnya adalah wewenang staf Sekretariat Jenderal (Setjen) KPU, namun semua anggota KPU terlibat dalam proyek tersebut, padahal mereka itu umumnya adalah orang-orang kampus yang sebenarnya belum memiliki kemampuan dan pengalaman dalam menangani proyek-proyek seperti itu. "Seharusnya mereka sadar atas kemampuan mereka saat itu bahwa mereka belum profesional untuk menangani proyek-proyek seperti itu, sehingga pekerjaan itu dapat diserahkan kepada orang atau pihak yang lebih kompeten dan profesional," ujarnya. Ke depan, kata Aswanto, anggota KPU jangan lagi dilibatkan dalam proyek-proyek pengadaan sekalipun itu terkait langsung dengan tugas KPU, seperti pengadaan kertas suara, kotak suara, tinta dan sarana/prasarana pendukung lainnya. Selain itu, berbagai ketentuan menyangkut pelaksanaan Pemilu, harus disiapkan secara dini dan disosialisasikan dengan baik, sehingga kualitas hasil Pemilu akan lebih tinggi lagi tanpa harus menyeret oknum-oknum KPU ke penjara usai Pemilu digelar. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006