Jakarta (ANTARA News) - Departemen Luar Negeri (Deplu) menemukan adanya dugaan praktek pungutan liar terhadap tarif keimigrasian pada perwakilan RI di kawasan Malaysia dan Tokyo dengan kerugian mencapai Rp28.689.875.474. Pernyataan itu dikemukakan Inspektur Jenderal Deplu Diene S Muhario di Gedung Deplu Taman Pejambon Jakarta, Jumat. "Inspektorat Jenderal tidak mencari-cari kesalahan tetapi lebih pada penekanan kesalahan itu ditemukan. Temuan-temuan pemeriksaan itu jelas membuktikan adanya korupsi dan pelanggaran peraturan tentang keuangan negara dan kerugian publik," kata Diene. Pada kesempatan sebelumnya Deplu telah melimpahkan kasus dugaan adanya pungutan liar di KJRI Penang dan KBRI Kuala Lumpur ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Ketika dilakukan pemeriksaan khusus pada kantor penghubung KJRI/kantor imigrasi di Tawau, KJRI Kuching, KJRI Johor Baru pada 30 November hingga 16 Desember 2005 dan KBRI Tokyo pada 7 sampai 11 Febuari 2006 ternyata ada kerugian keuangan negara senilai Rp28.689.875.474," katanya. Pada pemeriksaan di Tawau, Kuching dan Johor Baru diperoleh temuan pungutan liar yang merupakan akumulasi pungutan liar tarif keimigrasian pada 2000 hingga 2005 senilai Rp17.547.429.474 yang meliputi pungutan liar biaya paspor RI baru kepada WNI yang habis masa berlakunya, hilang, rusak atau pindah alamat, Surat Perjalanan Laksana Paspor/SPLP dan visa dengan harga yang beragam di luar tarif resmi sesuai PP No.26 tanggal 7 Mei 1999 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Departemen Kehakiman. "Di Tawau ditemukan pungutan liar tarif keimigrasian senilai Rp860.121.600 dan penyelewengan PNBP yang berasal dari tarif keimigrasian senilai Rp518.430.847 sejak awal 2005 hingga Juni 2005. Di Kuching sitemukan pungutan liar tarif keimigrasian senilai Rp3.538.314.000 dan di Johor Bari senilai Rp12.630.553.000," ujarnya. Sedangkan pada KBRI Tokyo, kata dia, dari hasil pemeriksaan ditemukan pungutan liar atas tarif pelayanan keimigrasian senilai Rp11.142.456.000 sebagai akumulai pungutan liar sejak Januari 2004 sampai 7 Febuari 2006. "Dari nilai itu uang negara yang berhasil diselamatkan senilai Rp1.209.000.000 dengan demikian yang masih harus dipertanggungjawabkan senilai Rp9.933.456.000," katanya. Sebagai tindak lanjut atas temuan itu Diene mengatakan bahwa Deplu telah melakukan kembali tertib administrasi dan tindakan pembenahan internal atau eksternal. "Internal antara lain, sistem pembayaran keimigrasian yang semual dilakukan dengan pembayaran langsung/tunai di loket sekarang melalui bank, merotasi/memutasi pegawai setempat di kantor imigrasi, penyebarluasan tarif resmi keimigrasian ke seluruh wilayah akreditasi Malaysia dan Jepang, menempelkan daftar tarif keimigrasian resmi di depan loket Kantor Imigrasi dan merevisi buku petunjuk visa di negara setempat sesuai ketentuan," katanya. Menurut Diene, untuk kasus di Jepang, pungutan liar memang tercantum di buku petunjuk visa sehingga akan dilakukan revisi atas buku itu. Sedangkan secara eksternal, kata dia, Deplu berusaha untuk mengembalikan citra Indonesia secara bertahap di negara-negara terkait serta berupaya menangani kasus itu dengan melakukan koordinasi dengan departemen atau instansi teknis terkait. Saat ditanya kemungkinan tersangka pelaku, Diene menolak menyebutkan karena kasus tersebut masih dalam proses penyelidikan. "Di setiap tempat diperkirakan ada satu orang yang bertanggungjawab atas penyelewengan itu kecuali di Tawau yang diduga ada dua orang, mereka setingkat pejabat. Sekalipun hingga kini belum ada penahanan tetapi Deplu menjamin tidak ada upaya penghilangan barang bukti karena semua telah ada di tangan. Tindak lanjut maslah harus dilakukan hati-hati karena ada asas praduga tak bersalah," katanya. Tindakan hukum, kata dia, akan diambil jika semua proses penyelidikan telah selesai.(*)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006