Jayapura (ANTARA) - Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (APIK) Jayapura Nur Aida Duwila mengakui, kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak di Jayapura hingga kini lebih banyak diselesaikan secara kekeluargaan.

Orang tua korban lebih memilih jalur kekeluargaan dengan berbagai pertimbangan, aku Nona, panggilan akrabnya kepada ANTARA di Jayapura, Minggu.

Baca juga: Warga Jakarta diminta waspadai pelecehan seksual terhadap anak

"Memang benar sangat jarang kasus pelecehan dan kekerasan terhadap anak yang sampai ke pengadilan," tambah dia.
 
Dijelaskan, rata-rata keluarga korban hanya menelpon dan melakukan konsultasi namun tidak ada tindak lanjutnya.

Baca juga: IDAI: Bentuk kejahatan seksual kepada anak tak hanya pemerkosaan
 
"Karena itu, terkadang kami pro aktif dengan menelpon kembali namun pihak keluarga menyatakan bila kasusnya ditangani secara kekeluargaan karena korban masih dibawa umur," ujar dia.
 
"Kami tidak bisa memaksakan keluarga untuk melanjutkan ke ranah hukum karena itu hak mereka," ungkap Nona Duwila.

Baca juga: IDAI: Jangan sepelekan perubahan sifat anak cegah kekerasan seksual
 
Diakui, dari keterangan pihak keluarga terungkap keengganan untuk melanjutkan kasus hingga ke ranah hukum karena lebih memilih memulihkan psikologi anak yang menjadi korban.
 
Pemulihan psikologi tidak saja kepada anak yang menjadi korban tetapi pelaku yang masih di bawah umur.
 
Disini lah peran pemda dalam hal ini dinas perlindungan anak sangat dibutuhkan terutama menyediakan tenaga psikolog agar dapat berkonsultasi dan pendampingan secara gratis.
 
"Biaya konsultasi dengan psikolog tidak murah sehingga bila dinas tersebut menyediakan maka itu sangat membantu, " kata Nona Duwila.
 
LBH APIK Jayapura saat ini memiliki tiga pengacara.

Pewarta: Evarukdijati
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
COPYRIGHT © ANTARA 2022