Jakarta (ANTARA News) - Kelompok Fraksi (Poksi) PDI Perjuangan Komisi VI DPR akan mengadukan Meneg BUMN Sugiharto ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas keputusannya yang dianggap merugikan negara. Demikian diungkapkan anggota Komisi VI Fraksi PDIP, Hasto Kristanto, usai Rapat Kerja Komisi VI DPR, dengan Meneg BUMN dan PT Pertamina, di Gedung MPR-DPR, Jakarta, Selasa malam. Menurut Hasto, Sugiharto melalui SK. No. KEP-16A/MBU/2005, memberikan legalisasi atas pembentukan Tim Perunding Pertamina di Blok Cepu, padahal sebelumnya sudah mendapat penolakan dari Komisi VII DPR. Dengan demikian, nota kesepahaman (MoU) pada 25 Juni 2005, antara Tim Perunding Pertamina dengan ExxonMobil di Blok Cepu bisa dibatalkan demi hukum, karena keputusan itu justru merugikan kepentingan nasional, khususnya Pertamina. "Pembiayaan proses negosiasi ini dibebankan kepada Pertamina, termasuk biaya "financial advisor, tax advisor, tax legal". Bagaimana mungkin seorang Menteri merekomendasikan melalui surat keputusan terhadap upaya Exxon menguasai Blok Cepu yang seluruh biayanya dibebankan ke Pertamina," kata Hasto. Kalau di PTUN MOU itu dianggap batal, lanjutnya, maka produk-produk perjanjian hukum lainnya yang mengacu pada MOU seharusnya tidak bisa ditindaklanjuti oleh pemerintah. Ia menjelaskan PDIP telah melakukan konsultasi dengan pakar hukum partai, yaitu Prof Gayus Lumbuan, dan meminta masukan dari pakar hukum tata negara, ahli geologi, dan pertambangan, dan Ikatan Advokat Indonesia. "PDIP juga akan fokus menggalang penggunaan hak angket soal Cepu ini," ujarnya. Hasto juga menyoroti potensi pelanggaran hukum yang sangat kuat telah terjadi saat pengambilalihan pengelolaan Blok Cepu dari Humpuss Patra Gas kepada Ampolex, MobilOil yang akhirnya ke ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI). "Termasuk juga pengalihan dari technical assistance contract (TAC) antara BP Migas selaku wakil pemerintah dengan Pertamina dan EMOI," ujarnya. Sibuk melobi Menurut Hasto, Exxon saat ini lebih sibuk melobi pemerintah ketimbang Blok Cepu, padahal potensi minyak, khususnya di Lapangan Banyu Urip sebenarnya sudah dapat diproduksi EMOI pada tahun 2001. Namun, EMOI lebih sibuk untuk melobi pemerintah untuk mendapatkan perpanjangan kontrak ketimbang mengembangkan lapangan itu. "Exxon melakukan pembicaraan dan tidak melaksanakan POD pada 2001, yang rencananya bisa berproduksi 25 ribu barel per hari tahun 2001 dan 165 ribu barel per hari pada 2004," ungkapnya. Ia juga menilai jauh sebelum penandatanganan Joint Operator Agreement (JOA) pada 15 Maret 2006, telah terjadi praktek KKN, penggelapan pajak, dan penggelembungan "cost recovery" yang dilakukan Humpuss dan EMOI. Kewajiban Humpuss terhadap Pertamina dan negara, yang belum terpenuhi meliputi "advance payment" sebesar 175 dolar AS, "compensation bonus" sebesar 500 ribu dolar AS, serta PPN dan PPh atas pengadaan barang dan jasa sekitar Rp6,58 miliar. "Itu belum termasuk atas dugaan `mark up` terhadap `cost recovery` sebesar 66,6 juta dolar AS," katanya. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006