Yogyakarta (ANTARA News) - Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai sebuah kebijakan yang berkaitan secara langsung dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan pelaksanaan liberalisasi sektor migas, tidak jelas dasar berpikirnya. "Artinya, dasar berpikir BLT sebenarnya sudah cacat sejak lahir," kata Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (Pustep) Universitas Gadjah Mada (UGM) Revrisond Baswir pada diskusi Implikasi dan Evaluasi BLT di Yogyakarta, Kamis. Menurut dia, jika secara konstitusional pelaksanaan BLT telah cacat sejak lahir, maka cacat operasionalnya menjadi sulit dielakkan. Secara substansial BLT sebenarnya sama saja dengan Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang pernah dilaksanakan Bappenas. Bedanya, jika JPS dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan agenda liberalisasi secara umum, maka BLT dilakukan dalam rangka pelaksanaan agenda liberalisasi sektor migas. Selain itu, BLT sama sekali tidak tepat disebut sebagai program kompensasi kenaikan harga BBM. Ibaratnya, jika dilihat secara medis, cacat yang ditimbulkan oleh kenaikan harga BBM tergolong cacat permanen. Sedangkan pelaksanaan BLT hanya bersifat temporal dengan jumlah anggaran terbatas. Ia mengatakan, terlepas dari proses penentuan sasaran yang bersifat tergesa-gesa dan prosedur pemberian yang tidak didukung oleh kesiapan kelembagaan yang matang, kriteria yang dipakai dalam menetapkan anggota masyarakat yang berhak menerima BLT cenderung bersifat "arbiter" dan tanpa alasan yang kuat. "Sebuah kebijakan yang didasarkan atas motivasi yang salah, sangat wajar jika bermuara pada kekacauan, dan yang memprihatinkan, beberapa lembaga pemerintahan yang tidak tahu menahu latar belakang dan motivasi pelaksanaan program itu seperti BPS, PT Pos, dan pemerintah daerah, ternyata ikut menjadi korban sesat pikir kebijakan tersebut," katanya.(*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2006