Jakarta (ANTARA News) - Perdana Menteri Australia John Howard menganggap keputusan Australia yang memberikan visa bagi 42 warga Papua tidak akan mengganggu hubungan Canberra-Jakarta, namun ia menyatakan dapat mengerti reaksi keras yang diberikan Pemerintan Indonesia terhadap keputusan tersebut. Anggapan Howard itu bertentangan dengan sikap Pemerintah Indonesia yang menegaskan bahwa pemberian visa kepada 42 warga Papua telah jelas-jelas mengganggu hubungan baik Australia dengan Indonesia karena mengarah kepada pengingkaran kedaulatan Indonesia terhadap Papua. "Persaudaraan yang telah dibangun antara pemerintah kedua negara, antara saya dan Presiden Indonesia tidak akan terganggu," kata Howard dalam sebuah jumpa pers di Melbourne seperti dikutip dalam situs resmi PM Australia itu, Minggu. Howard menyatakan keyakinannya, keputusan itu juga tidak akan berdampak terhadap perundingan yang tengah dilakukan kedua negara tentang pemindahan tahanan maupun kerja sama dalam bidang keamanan. "Saya tidak percaya bahwa itu akan menimbulkan dampak," katanya. Howard mengatakan, dirinya mengerti reaksi yang diberikan Indonesia serta menekankan bahwa Canberra tetap mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua. Pernyataan serupa, bahwa Australia mendukung kedaulatan RI itu, juga telah dinyatakan oleh Menlu Alexander Downer dan Duta Besar Australia untuk Indonesia, Bill Farmer. Namun sebaliknya Juru Bicara Deplu, Desra Percaya, ketika dihubungi ANTARA News di Jakarta, Minggu, menganggap pernyataan yang diberikan para pejabat tinggi Australia itu tidak dapat diterima. "Masalahnya bagi Indonesia, ini adalah hal prinsip. Dan kita tetap tegas menganggap bahwa itu mengganggu kedaulatan kita, tidak sensitif, tidak memahami perasaan negara tetangga terdekat," kata Desra. Sebelumnya, Pemerintah Indonesia telah secara resmi menyatakan protes terhadap pemberian visa bagi 42 warga Papua dengan menyebut keputusan tersebut sebagai `mengecewakan`. Keputusan pemberian visa tinggal sementara kepada 42 warga Papua itu dinilai Jakarta kontraproduktif, yang sama sekali tidak mempertimbangkan perasaan dan sensitivitas rakyat Indonesia terhadap isu tersebut.(*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2006