Jakarta (ANTARA News) - Juru bicara Departemen Luar Negeri Teuku Faizasyah mengakui jika ada opsi untuk melakukan pemulangan 193 manusia perahu --yang diduga berasal dari Bangladesh dan Myanmar-- yang mendarat di Sabang, Nangroe Aceh Darusalam (NAD) pada awal Januari 2009.

"Opsi pengiriman pulang atau ekstradisi memang mengemuka, namun keputusan akhir masih menanti hasil dari penyidikan lebih lanjut yang sedang berlangsung," kata Faiza di Ruang Nusantara, Deplu RI, Jakarta, Jumat, saat diminta komentarnya mengenai nasib para manusia perahu itu.

Menurut Faiza, opsi ekstradisi mengemuka karena hingga saat ini berdasarkan hasil wawancara secara acak terhadap para manusia perahu itu oleh Tim Deplu pada 9-10 Januari 2009 diperoleh kesimpulan sementara bahwa para manusia perahu tersebut meninggalkan negaranya dengan motif ekonomi dan konsekuensi dari kedatangan dengan motif ekonomi adalah ekstradisi dengan adanya jaminan keselamatan di negara asal.

Namun, lanjut dia, dalam dua hari terakhir Deplu telah mengirimkan tim lanjutan untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh.

"Tim Deplu sudah dua hari di Sabang, kita juga telah mendatangkan tenaga penerjemah (berbahasa Bangladesh, Rohingya dan Myanmar). Proses verifikasi sedang berlangsung," katanya.

Faiza mengatakan, pemerintah Indonesia berharap kasus tersebut dapat segera diselesaikan mengingat adanya keterbatasan pemerintah daerah untuk terus memfasilitasi bantuan kemanusiaan bagi 193 orang itu.

"Tapi karena jumlahnya yang banyak, 193 orang, dimana untuk setiap orangnya membutuhkan waktu pemeriksaan sekitar satu jam maka satu pekan mungkin baru bisa selesai," ujarnya.

Pemerintah Indonesia, lanjut dia, juga akan memberikan akses kepada negara asal manusia perahu itu untuk bertemu dengan warganya setelah proses verifikasi selesai, segera setelah status kewarganegaraan para pengungsi dapat dipastikan.

Terkait dengan keputusan pemerintah Indonesia untuk menutup akses media terhadap para manusia perahu itu, Faiza mengatakan bahwa keputusan itu diambil agar proses pemeriksaan dapat berjalan tanpa adanya campur tangan dari pihak luar.

"Tidak ada yang disembunyikan, kita hanya ingin proses pemeriksaan berlangsung netral, segera setelah selesai tentu (akses dibuka)," katanya.

Sementara itu mengenai dugaan adanya pelanggaran HAM yang diterima oleh para manusia perahu itu di negara asal maupun di negara transit yang dilaluinya, Faiza mengatakan bahwa penyidikan mengenai hal itu tidak menjadi prioritas utama pemerintah Indonesia saat ini.

"Prioritas kita adalah menyelesaikan permasalahan mengenai nasib 193 manusia perahu itu," katanya.

Ratusan WNA tersebut terdampar di perairan Indonesia pada Rabu 7 Januari 2009 sekitar pukul 09.00 WIB, saat ditemukan terapung-apung di laut dalam sebuah perahu tanpa mesin dan tidak memiliki identitas apapun.

Saat ditemukan para WNA itu berada dalam kondisi lemah sehingga memerlukan bantuan pengobatan segera. Saat ini ratusan WNA itu ditempatkan di kompleks Pangkalan TNI AL (Lanal) Sabang, Pulau Weh. (*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2009