Jakarta (ANTARA) - Toleransi berlebihan menyebabkan persentase terbesar dari alokasi atau kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tidak tepat sasaran. Toleransi berlebihan itu mestinya tak boleh berulang.

Demi APBN yang sehat, mekanisme penyaluran atau penjualan BBM bersubsidi perlu terus diperbarui.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 sedang menanggung beban teramat berat karena besarnya alokasi pembiayaan untuk subsidi energi. Sebagaimana dipahami bersama, Pemerintah melalui APBN menyubsidi BBM, LPG, dan listrik. Tujuannya untuk mendukung kegiatan produktif sebagian besar masyarakat.

Untuk subsidi tiga jenis energi itu, beban APBN tahun ini mencapai Rp502,4 triliun, sudah termasuk kompensasi untuk Pertamina dan Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Alokasi anggaran untuk subsidi energi pada tahun 2022 memang sebesar Rp208,9 triliun. Perinciannya subsidi BBM dan LPG melalui Pertamina senilai Rp149,4 triliun dan subsidi listrik melalui PLN sebesar Rp 59,6 triliun.

Namun, untuk merawat dan mendukung kemampuan Pertamina dan PLN menyediakan kebutuhan masyarakat akan energi yang disubsidi negara, Pemerintah harus memberikan kompensasi kepada kedua BUMN itu. Kalau kompensasi itu tidak segera terpenuhi, kemampuan Pertamina dan PLN untuk menyediakan BBM, LPG, dan daya listrik bersubsidi akan terganggu.

Maka, dalam APBN 2022, dialokasikan anggaran kompensasi energi sebesar Rp234,6 triliun. Kompensasi untuk BBM jenis solar dan pertalite sebesar Rp213,4 triliun, sedangkan kompensasi untuk listrik Rp21,4 triliun.

Selain itu, dalam APBN tahun ini, Pemerintah juga mengalokasikan kurang bayar kompensasi energi 2021 sebesar Rp108,4 triliun. Jumlah ini meliputi kompensasi BBM Rp83,8 triliun dan kompensasi listrik Rp24,6 triliun. Dari perhitungan seperti itu, beban subsidi energi dalam APBN 2022 menjadi Rp502,4 triliun.

Sudah diakui bahwa penyaluran atau penjualan BBM bersubsidi pertalite dan solar, paling sulit dikendalikan dan diawasi. Oleh Pertamina, harga jual BBM bersubsidi ditetapkan lebih rendah dari harga pasar karena pengadaannya (impor) dibiayai dengan APBN.

Untuk menjaga keseimbangan APBN, pengadaan atau belanja BBM bersubsidi pun dibatasi dengan mekanisme kuota. Karena ada kandungan subsidi negara di dalam harga jual, sudah barang tentu BBM bersubsidi pun idealnya hanya boleh dikonsumsi oleh kelompok masyarakat yang berhak.

Namun, dalam praktiknya tidak demikian. BBM bersubsidi bahkan dikonsumsi juga oleh kelompok masyarakat yang mampu. Pertamina sendiri mendapati fakta bahwa sebagian besar BBM subsidi dikonsumsi kalangan masyarakat mampu. Tidak kurang dari 60 persen konsumen yang membeli dan menggunakan BBM subsidi adalah kelompok masyarakat mampu atau kalangan kaya. Mereka yang 60 persen ini mengonsumsi sedikitnya 80 persen dari BBM subsidi yang dipasok ke pasar.

Sisanya atau 40 persen konsumen dari kalangan yang berkekurangan, hanya mengonsumsi 20 persen BBM subsidi. Penyaluran subsidi negara yang tidak tepat sasaran ini bisa terjadi karena adanya toleransi yang berlebihan dalam proses penyaluran atau penjualan BBM subsidi.

Baca juga: Ekonom UGM sarankan harga BBM bersubsidi tidak naik tahun ini
Baca juga: Luhut: Pemerintah masih susun skema penyesuaian subsidi BBM


Akibat toleransi berlebihan itu, kuota BBM subsidi otomatis terkuras. Bahkan, per Juli 2022 Pertamina sendiri mulai cemas karena kuota BBM bersubsidi mulai menipis. Dari kuota 14,9 juta kiloliter untuk BBM subsidi jenis solar, sudah disalurkan 9,9 juta kiloliter. Dari kuota 23 juta kiloliter untuk BBM jenis pertalite, sudah disalurkan sebanyak 16,8 juta kiloliter.

Tentu saja sangat beralasan jika Pemerintah pun gelisah karena sisa kuota BBM subsidi itu dikhawatirkan habis sebelum berakhirnya tahun anggaran ini. Kalau kuota BBM subsidi habis sebelum berakhirnya tahun anggaran sekarang ini, dinamika di ruang publik bisa berubah menjadi tidak kondusif.

Publik biasanya bereaksi karena faktor kelangkaan BBM atau tingginya harga BBM. Lagi pula, atas nama disiplin anggaran, hampir tidak mungkin Pemerintah pada tahun ini menambah lagi anggaran untuk subsidi energi, khususnya BBM.

Kegelisahan itulah yang mendorong Pemerintah mewacanakan kebijaksanaan untuk menaikkan harga BBM. Namun, diyakini bahwa Pemerintah tidak akan gegabah. Sejumlah aspek pasti tetap diperhitungkan oleh Pemerintah. Pasalnya, menaikkan harga jual BBM selalu menimbulkan efek domino yang dampaknya pun tak kalah seriusnya. Misalnya, dampak pada percepatan laju inflasi hingga memperlemah daya beli masyarakat kebanyakan.

Di lain pihak, menaikkan harga energi berkonsekuensi logis pada naiknya biaya produksi dan distribusi yang akan berujung pada naiknya harga barang dan jasa.

Sambil menunggu keputusan Pemerintah, sangat relevan untuk menggarisbawahi penjelasan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, baru-baru ini. Menteri ESDM menegaskan bahwa Pemerintah sedang menyiapkan sejumlah opsi agar penyaluran BBM bersubsidi benar-benar tepat sasaran. Selain itu, Menteri ESDM juga menegaskan bahwa Pemerintah berkomitmen untuk tetap mengupayakan ketersediaan BBM untuk masyarakat.

Dari penjelasan itu, dapat dipastikan bahwa Pemerintah akan tetap menyediakan BBM bersubsidi. Sejumlah opsi yang sedang dirancang semata-mata bertujuan meningkatkan efektivitas penyaluran BBM bersubsidi agar benar-benar tepat sasaran.

Penyaluran BBM subsidi yang efektif tidak akan mengganggu keseimbangan APBN. Boleh jadi, tidak ada lagi toleransi berlebihan terhadap mereka yang sesungguhnya tidak berhak menggunakan BBM bersubsidi.

Subsidi negara, termasuk subsidi energi, kepada kelompok masyarakat yang berkekurangan tak akan pernah dihentikan. Subsidi atau jaring pengaman sosial dari negara untuk melindungi rakyat akan selalu ada.

Baca juga: Pertamina jamin ketersediaan pasokan BBM jenis pertalite dan solar
Baca juga: Pemerintah terus upayakan menjamin pasokan BBM bagi seluruh masyarakat


Selain karena fakta bahwa tidak sedikit warga yang masih berselimut kemiskinan, Pemerintah pun menyadari bahwa hari-hari ini perekonomian semua elemen masyarakat belum sepenuhnya pulih dari kerusakan yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang durasinya lebih dari 2 tahun. Pemerintah diyakini tidak akan menerapkan kebijakan baru yang berdampak pada kenaikan biaya produksi.

Hari-hari ini, ketika harga minyak melambung di level 100 dolar AS per barel, penyaluran BBM subsidi harus efektif agar keseimbangan APBN tetap terjaga. Jangan lupa bahwa pengadaan atau belanja BBM subsidi itu melalui mekanisme impor.

Maka, kendati penyaluran BBM subsidi sulit dikendalikan dan diawasi, harus ada tekad untuk menghentikan toleransi berlebihan bagi mereka yang sesungguhnya tidak berhak menggunakan BBM bersubsidi.

*) Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI/Kandidat Doktor Ilmu Hukum Unpad/dosen Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka.

Pewarta: Bambang Soesatyo *)
Editor: D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2022