Jakarta (ANTARA News) - Indonesia segera membatasi pelabuhan internasionalnya dari 141 menjadi hanya 25 saja guna memaksimalkan potensi yang ada, sekaligus mendukung pelaksanaan azas "cabotage". "Pelabuhan `ocean going` (internasional) akan kita batasi 25 saja atau jauh dari kondisi sebelumnya sebesar 141 buah," kata Menteri Perhubungan Hatta Rajasa kepada pers usai membuka Seminar Nasional "Industri Kemaritiman" di Jakarta, Selasa. Pembatasan itu, kata Hatta, antara lain adalah untuk mendukung azas "cabotage" (kewajiban muatan domestik harus diangkut oleh kapal berbendera nasional) yang tertuang dalam Inpres No 5/2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Namun, Menhub tak merinci kapal kebijakan pengaturan kepelabuhanan tersebut akan efektif berlaku, termasuk pelabuhan internasional mana yang segera dicabut statusnya. "Amerika saja tidak punya `ocean going` lebih dari 25 buah," katanya. Oleh karena itu, tegasnya, pada tahap awal akan ensosialisasikan masalah tersebut ke pemerintah daerah khususnya dalam konteks pelaksanaan UU No 32 tentang Otonomi Daerah bahwa pelabuhannya tidak lagi menjadi internasional statusnya. "Ini harus diyakinkan karena deregulasi ini juga menyangkut keamanan dan keselamatan, tetapi juga efisiensi dan nilai tambah sebuah kawasan," kata Hatta. Untuk itu, ke depan, kata Hatta, pelabuhan yang tidak lagi berstatus internasional tersebut fungsinya akan menjadi pelabuhan pengumpan (feeder) bagi pelabuhan internasionalnya sehingga kapasitasnya memadai. Hatta juga mengatakan, terkait dengan pelaksanaa azas cabotage tersebut, ada sebuah negara yang menggertak Indonesia untuk digugat ke forum organisasi perdagangan dunia (WTO). "Tapi, setelah dijelaskan konteksnya, dia memahami," katanya tanpa bersedia merinci negara yang dimaksud. Yang jelas, tambah Hatta, Indonesia melalui kebijakan azas cabotage tersebut secara bertahap akan menyelamatkan potensi devisa 11-15 miliar dolar As per tahun yang lari ke asing karena pelayaran domestik masih didominasi asing. "Sementara potensi pergerakan muatan domestik mencapai Rp22 triliun per tahun," kata Hatta. Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Dorodjatun Kuntjoro Djakti dalam seminar itu menyatakan, keterpurukan sektor pelayaran nasional saat ini makin bertambah. "Pertambahannya adalah Indonesia tidak hanya dihadapkan pada persoalan minimnya kapal berbendera nasional, tetapi juga penanganan dan pertumbuhan serta mobilitas petikemas dunia," kata Kuntjoro. Paradigma global saat ini adalah bagaimana menangani perpindahan arus peti kemas secara cepat, lebih murah dan lebih besar dari suatu tempat ke tempat lainnya bukan lagi terpaku pada alat tranpostasinya baik itu kapal, pesawat, kereta api atau lainnya. "Sementara, Indonesia baru berbenah pada kesemerawutan pelabuhan yang tumpang tindih," kata Djatun. Selain itu, konsep intermoda di Indonesia sangat lemah karena terbukti hingga saat ini tidak jelas. "Di AS, pasca angkutan laut, petikemas itu di pelabuhan langsung bisa dilayani kereta api dengan kapasitas besar sehingga lebih cepat sampai ke pabrik-pabrik dan konsumen," kata Djatun. Sementara di Indonesia, petikemas lebih disukai diangkut dengan truk, sementara kapasitas jalannya tak mencukupi, akibatnya jalan cepat rusak dan menghambat perjalanan peti kemas itu sendiri. "Jalur-jalur kereta api yang disiapkan sejak jaman Belanda di pelabuhan Tanjung Priok dan sekitarnya, justru tak berfungsi," kata Djatun.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006