Magelang (ANTARA) - Melalui perangkat mengobrol di gawai, pelukis Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah, Wahudi mengirim foto tiga karya terbarunya kepada seorang kawan penyuka lukisan.

Harapannya, lukisan-lukisan yang seolah satu set dan berjudul "Abstrak Alien" itu mendapatkan respons secara bebas.

Di telepon pintarnya, ia membaca respons kawan tersebut. Lukisan tersebut, oleh kawannya, dianggap nujuman kesadaran atas aura hangat keadaan politik negeri menuju pesta demokrasi, yang bakal berlangsung sekitar tujuh belas setengah bulan lagi.

Keduanya rupanya bertengger stempel pengertian alien yang sama dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Alien sebagai makhluk asing berasal dari luar Bumi sebagaimana dijumpai di ragam cerita atau film fiksi ilmiah.

Dengan diakhiri tempelan dua sosok emotikon tertawa lucu, ia menuliskan jawaban balik kepada kawannya di perangkat percakapan. Ia seakan membenarkan bahwa lukisan itu menyemburatkan secara abstrak sisi pamrih politik menawarkan hal-hal di luar jangkauan akal sehat masyarakat umum.

Meskipun ada yang karena kedaruratan, umumnya alien datang ke Bumi dikisahkan membawa pamrih. Oleh penulis cerita, secara menterang dijuluki misi. Kira-kira agar berasa sains. Pamrih kian terkuak gamblang ketika alien makin dalam bersentuhan dengan makhluk utama Bumi.

Setelah sepakat harga menjadi rahasia berdua, lima hari kemudian karya "Abstrak Alien" Wahudi resmi menambah koleksi lukisan kawannya.

Publik terus tertimpa-timpa informasi keadaan negeri melalui berbagai kanal media. Yang masih aktual mungkin timpaan berita penembakan polisi di jantung negeri dengan tekanan pengungkapan seterang-terangnya, serta kecepatan dan transparansi penyelesaian, hingga mengencang dorongan pemulihan nama baik institusi kepolisian.

Soal lain, berita pandemi COVID-19 dan dampaknya yang masih mendera disusul incaran cacar monyet dan penyusunan strategi global penanganan pandemi masa mendatang.

Ada juga kewaspadaan krisis pangan dan energi secara global dampak perang Ukraina-Rusia, juga rangkaian pertemuan pemimpin dunia G20 di Indonesia yang seakan diselingi viral heboh lantunan "Ojo Dibandingke" oleh Farel Prayoga (12) di hadapan Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriani Jokowi di Istana Merdeka Jakarta, saat HUT Ke-77 RI.

Belum lagi dampak cuaca ekstrem, perubahan iklim, krisis air bersih, kebakaran hutan dan lahan, serta penanggulangan bencana alam.

Selain itu, gerakan butuh napas panjang menuju Indonesia Emas 2045, di antaranya penanganan stunting, imunisasi dasar lengkap anak-anak, bantuan sosial, pendidikan karakter, dan gerakan moderasi beragama.

Kiranya tak kalah menarik ingar-bingar tentang penyalahgunaan jalur mandiri penerimaan mahasiswa baru, kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta berbagai kasus korupsi pejabat yang terus dikuak aparat.

Di ranah ekonomi masyarakat, aneka warna kabarnya, seperti produksi pertanian, fluktuasi harga kebutuhan, isu kenaikan harga BBM, pengembangan UMKM, bisnis daring, serta kredit modal usaha, dan peningkatan kapasitas tenaga kerja pascapandemi.

Barangkali terasa senyap namun sesungguhnya terjaga eksistensinya, yakni masyarakat perdesaan tetap menjalani tradisi budaya lokal, seperti kenduri, ziarah, tahlilan, dan merti dusun dengan pementasan macam-macam kesenian rakyat berkerumun penonton serta para pedagang kaki lima menyemutinya.

Penayangan melalui kanal-kanal media sosial untuk macam-macam aktivitas desa juga mereka sajikan setelah menyeruput pementasan budaya terkesan lebih sempurna dan glamour di alam digital dengan metaverse-nya dilakukan masyarakat perkotaan, dan program-program tayangan digital pemerintah serta berbagai komunitas masyarakat lainnya, melalui kanal-kanal serupa.

Hati-hati

Untuk berbagai perkiraan suram atas keadaan global dan dalam negeri berbasis data resmi dan akurat yang bakal merepotkan, dalam berbagai kesempatan Presiden Jokowi mengeluarkan seruan prediktif: "Hati-hati!".

Dalam mengelola dan menyiapkan pesta demokrasi pun, nampaknya kehati-hatian penting ditancapkan. Hal kehati-hatian, bukan hanya pihak penyelenggara pemilu, akan tetapi juga para pemangku kepentingan dan pihak-pihak terkait lainnya, seperti partai politik, mereka yang pasang kuda-kuda maju pemilihan legislatif, dan para pendaku layak menjadi presiden.

Masyarakat pun nampaknya juga berkewajiban hati-hati dengan memasang detektor pemilihan sejak dini. Supaya saat tiba mereka bersuara, pilihan jatuh tepat sasaran. Setidaknya, ketika warga pemilih menjatuhkan suaranya, tidak karena pemikiran sesaat dan pragmatis, namun berfondasi pada kesadaran yang lebih presisi dengan kepentingan jangka panjang bangsa dan negara.

Tahapan pemilu saat ini, antara lain, masa verifikasi parpol yang bakal mengikuti Pemilu 2024, sedangkan pengurus berbagai parpol makin menghangatkan mesin politik melalui safari para elite, pembentukan koalisi, serta pertemuan jajaran pengurus dan massa kader.

Meski belum terlihat mengemuka, tentunya mereka yang ingin ikut berebut kursi legislatif pun ancang-ancang mendandani diri meraih pamrih, sebagaimana elite-elite lainnya mengungkap pamrih atas kursi RI-1.

Untuk menghadirkan pemilu yang demokratis, berkualitas, dan bermartabat kiranya bukan semata-mata tergantung kesiapan matang dan tahapan-tahapan diselenggarakan KPU bersama Bawaslu dengan lancar dan sesuai regulasi. Bukan pula sekadar para kandidat meraih kemenangan suara dalam kontestasi politik dengan menduduki kursi-kursi kekuasaan selama 5 tahun ke depan.

Para pemilik suara pun sejak dini disiapkan menghadirkan pilihan dengan kesadaran luhur mewujudkan masa depan bangsa dan negara yang semakin sejahtera, tangguh, dan maju. Mereka berhadapan dengan para pemilik pamrih kekuasaan dalam pesta demokrasi sebagai keniscayaan masyarakat demokratis.

Pamrih yang oleh penulis Bre Redana dalam Buku "Memo tentang Politik Tubuh" (2016) dikatakan membutakan pertimbangan jangka jauh ke depan, kiranya harus bisa dideteksi dengan baik oleh pemilik suara, supaya pilihan terhadap kandidat penguasa tidak keliru, buta, atau bahkan sesat.

Kemahiran memilih dan memilah pamrih jauh-jauh hari diasah pemilik suara, agar calon yang dipilih memang layak dan membawa faedah bagi kesejahteraan bersama. Mereka bukan memilih alien yang misterius, namun sosok-sosok terkemuka negeri dengan rekam jejak, kapasitas, dan kapabiltas yang bisa ditelusuri untuk referensi menimbang-nimbang pilihannya.

Pertimbangan bahwa Indonesia bangsa besar, penduduk beragam latar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan, juga lanskap alam kemaritiman dan geopolitik kawasan, mungkin juga penting sebagai bagian keutamaan kesadaran pemilik suara menimbang-nimbang pilihan.

Akan tetapi, penting kiranya juga membuka catatan-catatan serta ingatan pesta demokrasi yang lalu dalam suasana praktik politik identitas yang berdampak panjang terhadap krisis integrasi bangsa.

Pemilu 2024 bukan pesta demokrasi perdana Indonesia. Sejak 1955 bangsa ini menyelenggarakan pesta demokrasi. Banyak catatan terpilin bisa ditelusuri untuk menemukan bukti betapa besar komitmen, ketangguhan, dan keandalan bangsa ini dalam memelihara NKRI melalui pemilu.

Pilihan politik boleh beda-beda, pamrih politik pun juga macam-macam. Mari dipindai dengan detektor terasah. Karena rakyat sedang tidak memilih liyan (others), bukan pula memilih alien.

Pewarta: M. Hari Atmoko
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2022