London (ANTARA) - Rusia pada Senin mengaku tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa hubungan buruk dengan Inggris akan semakin buruk di bawah kepemimpinan perdana menteri berikutnya.

Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss diperkirakan akan menjadi PM baru Inggris menggantikan Boris Johnson, setelah hasil pemungutan suara partai Konservatif diumumkan pada 11.30 GMT (18.30 WIB).

Truss telah menjadi target cemoohan Moskow selama berbulan-bulan.

"Saya tak ingin mengatakan bahwa hal-hal bisa berubah menjadi lebih buruk, karena sulit membayangkan sesuatu yang lebih buruk," kata juru bicara kepresidenan Rusia Dmitry Peskov.

Baca juga: Rusia tuding pesawat intai Inggris langgar perbatasan

Dia mengatakan hal itu saat ditanya apakah Moskow berharap adanya perubahan dalam hubungannya dengan Inggris.

"Namun sayangnya, ini tidak bisa dikesampingkan, mengingat para calon PM Inggris bersaing satu sama lain dalam retorika anti Rusia, dalam ancaman untuk mengambil langkah selanjutnya guna menentang negara kami, dan seterusnya. Jadi, saya tak berpikir kami bisa berharap sesuatu yang positif," katanya.

Saat ditanya apakah Presiden Vladimir Putin akan mengirimkan ucapan selamat, Peskov mengatakan: "Kita tunggu dan lihat siapa yang menjadi perdana menteri."

Truss sangat terkenal di Rusia setelah kunjungannya ke Moskow pada Februari, ketika dia dan Menlu Rusia Sergei Lavrov melakukan pertemuan yang "penuh dendam".

Lavrov menggambarkan pembicaraan mereka seperti dialog antara orang tuli dan orang bisu.

Kementerian Luar Negeri Rusia secara terbuka juga mengejek Truss atas kesalahan geografis, termasuk ketika dia disebut tidak bisa membedakan antara Laut Hitam dan Laut Baltik.

Truss secara terbuka menantang Lavrov dalam pertemuan mereka tentang pengerahan pasukan di dekat Ukraina.

"Saya tak melihat alasan apa pun untuk menempatkan 100.000 tentara di perbatasan, selain mengancam Ukraina," kata Truss kepada Lavrov saat itu.

Moskow, yang sebelumnya membantah akan melakukan invasi, mengirim pasukannya ke Ukraina dua pekan kemudian.

Sejak itu, Inggris menjadi salah satu pendukung Ukraina paling aktif dan lantang selama perang dan memasok senjata dan pelatihan militer ke negara itu.

Hubungan Rusia dan Inggris telah memburuk sejak tewasnya bekas pejabat keamanan Rusia Alexander Litvinenko akibat racun pada 2006 di London dan percobaan pembunuhan dengan gas saraf terhadap mantan agen ganda Rusia Sergei Skripal dan puterinya di Kota Salisbury, Inggris, pada 2018

Sumber: Reuters

Baca juga: Inggris: Rusia gencarkan serangan di wilayah Ukraina timur
Baca juga: Johnson: Inggris tak akan pernah akui aneksasi Rusia atas Krimea

 

Pewarta: Anton Santoso
Editor: Mulyo Sunyoto
COPYRIGHT © ANTARA 2022