Palu (ANTARA News) - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sulawesi Edmond Leonardo Siahaan mengatakan, percepatan pelaksanaan hukuman mati terhadap Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, justru hanya memutuskan pengungkapan para pelaku yang menjadi otak kerusuhan di Poso. "Seharusnya mereka bertiga dijadikan saksi dan pintu masuk untuk mengungkap para pelaku yang menjadi otak kerusuhan serta motif di balik konflik kemanusiaan di sana, bukan justru dengan cepat menghilangkan jiwa mereka," katanya di Palu, Selasa. Menurut Siahaan, pidana mati itu merupakan hukuman yang paling kejam dan tidak manusiawi. Karena itu, jika pemerintah Indonesia masih mempertahankannya maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang cukup serius karena menyangkut hak untuk hidup seseorang. "Hak hidup seorang manusia itu tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apapun, apakah dalam keadaan darurat atau perang, termasuk terhadap seorang narapidana," tuturnya. "Ini juga sangat ironis, sebab hukuman mati (terhadap Tibo dkk) dilaksanakan pada saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil Politik tahun 2005 yang secara tegas mengakui akan hak hidup setiap manusia dalam keadaan apapun," katanya menambahkan. Sekalipun demikian, Siahaan tidak membandingkan pelaksanaan hukuman mati yang hingga kini masih diberlakukan di Amerika Serikat, padahal para pejabat pemerintahan di negeri "Paman Sam" ini selalu mengganggap bahwa negaranya sebagai kampiun demokrasi di dunia. Ia juga mengatakan, rencana pelaksanaan hukuman mati terhadap Tibo dkk memiliki rentang waktu cukup lama (lebih lima tahun) dengan vonis yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama, sehingga berdampak psikologis terhadap para terpidana dan keluarga mereka. Atas alasan itu, Kontras Sulawesi menyatakan secara tegas menolak hukuman mati yang masih berlaku di Indonesia, karena hukuman jenis ini bukanlah solusi untuk menyelesaikan persoalan secara berkeadilan dan beradab, selain bentuk hukuman ini merupakan peninggalan kolonial Belanda yang berdarah-darah dan sudah ditinggalkan banyak negara. (*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2006