Jakarta (ANTARA News) - Tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso yaitu Fabianus Tibo (60), Dominggus da Silva (42), dan Marinus Riwu (48) melalui kuasa hukumnya berkirim surat permohonan kepada Jaksa Agung dan Presiden meminta penundaan eksekusi pidana mati. "Kami selaku kuasa hukum tiga terpidana mati meminta kepada Jaksa Agung dan Presiden agar berkenan menunda eksekusi dan memberi pengampunan," kata kuasa hukum Tibo dan kawan-kawan (dkk), Alamsyah Hanafiah di Jakarta, Selasa. Ia mengatakan, surat permohonan tersebut dikirimkannya kepada Jaksa Agung RI Abdul Rahman Saleh dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ditembuskan kepada Kapolri, Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua Komisi Ombudsman juga Kajati dan Kapolda Sulawesi Tengah. Surat bernomor 058/AH-P/IV/2006 tertanggal 3 April 2006 itu disertai lampiran pemberian kuasa dan pernyataan sikap sejumlah tokoh agama dan pernyataan pejabat seperti Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, mantan Presiden Abdurrahman Wahid juga mantan Ketua DPR Akbar Tandjung di sejumlah media cetak yang intinya meminta penundaan pelaksanaan hukuman mati bagi Tibo dkk. Alamsyah yang pekan lalu mulai menjadi kuasa Tibo dkk itu mengatakan, dasar pengiriman surat permohonan itu adalah belum finalnya pemeriksaan perkara karena tiga kliennya tersebut dikenai pasal penyertaan sebagai peserta, bukan sebagai aktor. "Hingga saat ini aktor utama yang merupakan otak kerusuhan belum terungkap, dan kesaksian mereka diperlukan dalam pengungkapan kasus ini," ujarnya. Ia menjelaskan, Tibo, da Silva dan Riwu adalah petani yang berlatar belakang pendidikan rendah dengan kategori buta huruf yang tidak memiliki kharisma untuk melakukan penggalangan untuk melakukan kerusuhan massal seperti yang dituduhkan pada ketiganya. Selain itu, Alamsyah juga mengemukakan bahwa hidup matinya seseorang merupakan kewenangan Tuhan sehingga pelaksanaan eksekusi mati dinilai sebagai campurtangan manusia. Alamsyah menambahkan, selain permohonan penundaan eksekusi pidana mati, pihaknya juga akan memohon grasi atau pengampunan kepada Presiden Yudhoyono dalam waktu dekat. Beberapa waktu lalu, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Prasetyo mengatakan, pengajuan grasi kedua yang dilakukan oleh terpidana mati kasus kerusuhan Poso yaitu Fabianus Tibo (60), Dominggus da Silva (42), dan Marinus Riwu (48) merupakan hal yang menyalahi UU RI nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Dalam pasal 3 UUB Grasi diatur bahwa "permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali dalam hal (a) terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut. Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva dijatuhi dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Palu pada 5 April 2001. Ketiganya dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan pembunuhan berencana, sengaja menimbulkan kebakaran dan penganiayaan yang dilakukan bersama-sama secara berlanjut. Putusan atas tiga orang itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Sulteng pada 17 Mei 2001, demikian pula dengan pengajuan kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung (MA) juga ditolak pada 11 Oktober 2001. Tiga terpidana itu juga mengajukan upaya Peninjauan Kembali (PK) yang juga ditolak pada 31 Maret 2004. Setahun berikutnya mereka mengajukan grasi atau pengampunan dari Presiden pada Mei 2005 dan ditolak oleh Presiden Yudhoyono pada 10 November 2005. Saat ini, selain mengajukan grasi, tiga terpidana itu melalui pengacaranya mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) II di PN Palu, Sulteng. Dalam permohonan PK II, Penasihat Hukum Tibo dkk yaitu Roy Rening mengajukan alasan dan bukti baru atau novum. Kejaksaan Agung menolak upaya hukum tersebut dengan dasar bahwa seluruh upaya hukum telah ditempuh dan tiga terpidana telah menggunakan hak hukumnya hingga grasinya ditolak pada November 2005 lalu. Sebelumnya, pihak Kejaksaan selaku eksekutor menyatakan pelaksanaan eksekusi terhadap Tibo dkk akan dilaksanakan pada akhir Maret 2006, namun, dalam kunjungan kerjanya ke Palu pada 24 Maret lalu Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengatakan eksekusi dilakukan bulan April.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006