Jakarta, (ANTARA News) - Populasi Gajah Sumatera di Riau mengalami penurunan secara dratis dari sekitar 1.067 hingga 1.617 ekor di sebelas kantung sebaran gajah pada 1985 (Blouch and Simbolon Technical Report, 1985) menjadi 709 ekor di 16 kantung pada 1999 (Laporan BKSDA Riau, 2002) dan sekitar 353 ekor hingga 431 ekor di 15 kantung pada 2003 (WWF dan BKSDA Riau, 2004) atau kurang dari 450 ekor. Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Species Program Communications Officer WWF-Indonesia Desmarita Murni di Jakarta, Rabu (5/4). Menurut dia, perkiraan kasar itu diperoleh setelah tim survei dari Eyes on the Forest yaitu Koalisi LSM Lingkungan di Riau yang terdiri dari WWF, Jikalahari, dan Walhi Riau, mengumpulkan semua laporan terkait mengenai gajah, memetakan lokasi-lokasi yang disebutkan di dalam laporan-laporan tersebut, mewawancarai masyarakat setempat dimana gajah dilaporkan terlihat, dan melakukan pengecekan di lokasi di mana tanda-tanda keberadaan gajah ditemukan. Setelah semua informasi dikumpulkan, kata dia, tim survey memperkirakan berapa jumlah gajah yang berada di setiap blok hutan yang masih tersisa di Riau. Fragmentasi hutan telah menyebabkan hutan Riau terkotak-kotak dalam delapan blok hutan, dimana masing-masing dikelilingi oleh ladang dan perkebunan. Itulah sebabnya dalam beberapa waktu terakhir acapkali terdengar kabar gadjah masuk ke perkampungan manusia sehingga menimbulkan konflik antara gajah dan manusia. Gajah keluar dari hutan habitatnya dan mencari makanan di ladang dan perkebunan masyarakat, kat adia, bisa disebabkan oleh dua hal yaitu karena tidak adanya cukup makanan didalam hutan atau karena makanan di luar hutan lebih menarik dan disukai. Menurut data Eyes on the Forest, konflik antara gajah dan manusia telah berulang kali terjadi dengan insiden yang berakhir tragis. Sejak 2000, 16 orang tewas akibat konflik dengan gajah dan 45 ekor gajah mati baik karena diracun atau ditembak dengan senjata rakitan. Sementara itu, sekitar 201 ekor gajah ditangkap oleh pemerintah setempat sebagai upaya penanganan konflik Tetapi, prosedur penangkapan yang tidak professional berulangkali menyebabkan kematian gajah, terutama karena rantai yang terlalu ketat mengikat kaki, penggunaan obat bius tak terkontrol dan luka-luka pasca penangkapan yang tidak diobati. Dari 201 gajah itu, sekitar 45 gajah atau 22 persennya mati akibat penangkapan itu sedangkan 102 lainnya menghilang tanpa diketahui jejaknya setelah ditangkap, tim WWF tidak menemukan adanya bukti-bukti keberadaan mereka baik di Pusat Latihan Gajah atau kebun binatang. Menurut Desma, ada kemungkinan bahwa gajah-gajah tersebut juga telah mati walaupun kematiannya tidak pernah terungkap dan jika satwa dilindungi tersebut mati, maka kematian akibat penangkapan di Riau telah mencapai 73 persen. Sedangkan pelepasan 41 gajah sisanya umumnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi di beberapa tempat di hutan Riau. Tim WWF, kata dia, telah melacak semua informasi yang tersedia dan mewawancari warga setempat untuk kemudian menghitung jumlah yang dilepaskan tersebut. Gajah yang dilepaskan kembali ke hutan umumnya tidak pernah dicek kembali keberadaan atau kondisinya oleh tim pelepas. Antara 2000 dan 2006, kata dia, hanya ada tiga laporan mengenai gajah mati yang terkait secara langsung dengan perburuan. Meskipun demikian, banyak gajah yang mati akibat diracun dan sebagian besar yang ditangkap, gadingnya lenyap tanpa diketahui informasi dimana hilangnya.(*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006