Jakarta (ANTARA News) - Menperin Fahmi Idris mengatakan pendekatan politik dan ekonomi harus dibedakan menghadapi Australia yang dinilainya telah mengganggu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena memberi ijin tinggal (visa) sementara terhadap 42 Papua, dengan alasan terancam bahaya. "Jadi menurut saya yang perlu dilakukan memisahkan pendekatan ekonomi dengan pendekatan politik," katanya, seusai membuka Raker Deperin di Jakarta, Kamis, menanggapi rencana sejumlah pengusaha memboikot mengimpor produk Australia. Menurut dia, boikot impor produk Australia dari pengusaha Indonesia masih sebatas wacana. Ia menilai bila aksi boikot dilakukan maka kedua pihak sama-sama rugi. Dikatakannya, ada beberapa komoditas yang Indonesia juga tergantung pada Australia, seperti gandum dan sapi. Demikian pula dengan turisme, dimana sebagian besar wisatawan asing yang datang ke Bali kebanyakan dari Australia. Selain itu, kata dia, banyak pelajar Indonesia yang belajar di negeri itu. Demikian pula banyak mata dagangan dari Indonesia yang diekspor ke Australia. "Kalau terjadi pemboikotan dua-duanya rugi," ujar Fahmi. Namun, ia juga menyayangkan sikap masyarakat Indonesia yang dinilainya tenang-tenang saja menghadapi tindakan Australia yang memberi ijin tinggal (visa) sementara terhadap 42 Papua. "Sepertinya yang serius menangani cuma pemerintah saja. Rakyat tenang-tenang, seperti tidak tahu menahu. Ini berbahaya sebab, saudara-saudara sekalian yang dilakukan Australia itu -- suatu hal yang sangat prinsipal sekali, yaitu NKRI," ujarnya. Fahmi dengan tegas menilai negara tersebut tidak menghargai Indonesia. "Dia (Australia) tidak menghargai kesatuan Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke," ujar fungsionaris Partai Golkar itu. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006