Bogor, (ANTARA News) - Pulau Halmahera, yang terletak di bagian utara Provinsi Maluku Utara yang dikenal dengan bentuknya yang menyerupai huruf K, seperti halnya Pulau Sulawesi, dari beberapa hasil penelitian mengidentifikasi pulau itu sebagai salah satu "hotspot" untuk keanekaragaman hayati, yang salah satu indikatornya diukur melalui keberadaan burung-burung endemiknya. "Director of Resources Dev and Internal Affairs" Perhimpunan Pelestari Burung dan Habitatnya (BirdLife) Indonesia, Yatie Saloh, di Bogor, Senin (10/4) menjelaskan, di Pulau Halmahera, tercatat menjadi rumah bagi empat spesies burung endemik yaitu: Habroptila wallacii, Todiramphus diops, Coracina parvula, dan Oriolus pherochromus. Menurut dia, dari 213 jenis burung yang ditemukan hidup di sana, 24 jenis diantaranya adalah jenis khas Maluku Utara seperti Bidadari Halmahera (Semioptera wallacei), Kakatua Putih (Cacatua alba), Nuri Ternate (Lorius garrulus), Si Cantik Pita (Pitta maxima) serta burung-burung khas lainnya. "Delapan dari jenis-jenis tersebut bahkan teridentifikasi sebagai burung yang terancam punah," kata Yatie Saloh, yang juga mewenangi pusat informasi Birdlife Indonesia itu. Selain burung endemik, kata dia, di pulau tersebut juga hidup berbagai margasatwa lainnya diantaranya Kupu-kupu raja (Papilio heringi), Biawak air (Hydrosaurus werneri), Biawak darat (Varanus sp.), Kuskus Halmahera (Phalanger sp.), Babi hutan (Sus scrofa), Rusa (Cervus timorensis), dan berbagai jenis serangga serta avertebrata. Selain itu, Pulau Halmahera juga memiliki dua marga tumbuhan berbunga yang endemik dan berbagai jenis anggrek, rotan danliana lainnya yang memanjat sampai ke tajuk-tajuk pepohonan. Pada tahun 1995, berdasarkan hasil survey potensi keanekaragaman hayati dan tingkat kebutuhan konservasi di areal Aketajawe dan Lolobata, Departemen Kehutanan (Dephut) dan BirdLife International-Indonesia Programme mengusulkan perubahan status kawasan hutan Aketajawe dan Lolobata menjadi Taman Nasional (TN). Lebih lanjut, pada tahun 1997, Pengajian Sistem Kawasan Lindung bagi kawasan Indo-Malaya mencantumkan kedua areal tersebut sebagai kawasan proritas yang harus dikukuhkan sebagai kawasan lindung, sehingga penetapan kawasan-kawasan tersebut menjadi sebuah hal yang harus dilakukan. Pada bulan Oktober 2004, atas dukungan pemerintah daerah melalui Bupati Halmahera Timur, Bupati Halmahera Tengah, Walikote Tidore Kepulauan dan Gubernur Maluku Utara, pemerintah melalui Dephut menunjuk areal Aketajawe dan Lolobata sebagai Taman Nasional, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 397/Menhut-II/2004. Kedua blok hutan tersebut mencakup areal sebanyak 167,300 ha. Masyarakat desa di sekitar TN ini, umumnya mereka hidup di pesisir pantai dan bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan dengan kepadatan penduduk yang termasuk rendah. Selain mereka, terdapat juga beberapa kelompok komunitas masyarakat "asli" yang masih hidup secara semi nomaden --dikenal sebagai komunitas Suku Tobelo Dalam (Togutil)-- dan beberapa pemukiman program transmigrasi yang kesemuanya menggantungkan sumber airnya dari keberadaan TN ini. Tak hanya masyarakat, TN ini pun berbatasan dengan beberapa perusahaan penebangan dan perusahaan tambang komersial, yang walaupun memiliki wilayah kegiatan yang berbeda, namun keberadaannya berpotensi menjadi ancaman bagi kelestarian TN itu sendiri. "untuk itu, semua pihak menjadi bagian yang penting dalam mencapai tujuan kelestarian Taman Nasional Aketajawe dan Lolobata," katanya. Pengelolaan kolaboratif Sebagaimana diketahui, kata dia, kepentingan untuk melestarikan TN dan keanekaragaman hayati di dalamnya juga haruslah sejalan dengan aspirasi dan kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitarnya. "Karenanya, sebuah konsep pengelolaan kolaboratif antarpihak yang terkait sangatlah diperlukan, baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, perusahaan pertambangan dan kehutanan serta pihak lain yang memiliki kepentingan terhadap keberadaan TN itu sendiri," katanya. Berkaitan dengan itu, sejak tahun 2005, BirdLife Indonesia memulai inisiatif untuk menjadi salah satu pihak yang aktif mendorong pelaksanaan konsep pengelolaan kolaboratif tersebut, selain berupaya untuk membantu peningkatan kapasitas pengelola Taman Nasional Aketajawe dan Lolobata. Inisiatif dimaksud, diharapkan akan mendorong pelaksanaan penataan batas TN secara partisipatif yang dapat diterima semua pihak, untuk mengurangi potensi konflik kepentingan yang mungkin timbul, demikian Yatie Saloh.(*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006