Rabat (ANTARA News) - Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, pada Rabu terbang ke Casablanca untuk perjalanan resmi pertama ke Maroko lantaran kota itu mungkin akan menjadi tuan rumah pembicaraan rahasia Israel-Palestina bulan depan, kata sejumlah pejabat. Abbas akan mengadakan pembicaraan dengan Raja Mohammad di Casablanca, kemudian bertemu dengan Perdana Menteri (PM) Driss Jettou di Rabat dalam kunjungan resmi tiga harinya ke negara Arab Afrika Utara itu. Kunjungan itu merupakan perjalanan resmi pertama Abbas sejak terpilih menjadi Presiden Palestina pada awal 2005. Media massa Maroko awal pekan ini melaporkan, Casablanca akan menjadi tuan rumah pembicaraan rahasia di antara pejabat senior Israel dan Palestina pada awal Mei sebagai upaya untuk menghidupkan kembali proses perdamaian. Pejabat pemerintah di Rabat tidak segera bersedia mengomentari laporan tersebut. Pejabat pemerintah Israel juga tak bersedia berkomentar sebelum hari paskah Yahudi. Maroko adalah perantara dalam membawa pemimpin Israel dan Palestina bersama dalam serangkaian pertemuan rahasia yang diadakannya sebelum kedua belah pihak itu mencapai perjanjian damai yang awal 1990-an semakin sering tersendat. Abbas telah menawarkan untuk memulai lagi pembicaraan damai dengan Israel secepat negara itu membentuk pemerintah baru, meskipun Israel menghindari pemerintah otonomi Palestina yang dipimpin oleh musuhnya dari Hamas yang menang dalam pemilu akhir Januari 2006. Israel mengatakan, tidak akan berurusan dengan Hamas, yang disumpah untuk kehancuran negara Yahudi tersebut, tapi membiarkan pintu terbuka bagi pembicaraan dengan Abbas, yang gerakan Fatah pimpinannya yang pernah dominan dikalahkan oleh Hamas dalam pemilihan parlemen. Sejumlah diplomat di Rabat mengatakan, pembicaraan Abbas dengan Raja Mohammad dan pemimpin pemerintah lainnya akan berpusat pada dukungan untuk mengurangi tekanan pada pemerintah otonomi Palestina yang kekurangan uang. Sejak Hamas mengambil alih kekuassan di Tepi Barat dan Jalur Gaza 29 Maret, Israel meningkatkan tekanan keuangan, diplomatik dan militer pada pemerintah baru itu. Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) telah menghentikan bantuan langsung pada pemerintah otonomi Palestina, yang dibebani utang dan tidak dapat membayar gaji 140.000 staf. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2006